Thursday, August 6, 2015

Jean Couteau: Apakah pantas kita hari ini berbicara tentang lukisan palsu?



Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Saudara-Saudara


Apakah pantas kita hari ini berbicara tentang lukisan palsu?

-Bukankah kita lebih baik berbicara tentang permasalahan permuseuman nasional. Bagaimana merawat karya. Atau pangsa mana yang kita sebaiknya berikan kepada museum swasta dan museum milik negara.

-Bukankah kita lebih lebih baik kita berbicara tentang perbaikan kerangka peraturan untuk penyelenggaraan acara seni internasional seperti biennale dan art fair.

-Bukankah lebih baik pengetahuan kita tentang seni dipakai untuk mempelajari seni dan membuat buku, di dalam bahasa Indonesia dan di dalam bahasa Inggeris.

-Bukankah lebih baik kita berupaya memperluas perhatian kalangan seni kepada ragam seni yang baru, seperti "art brut", atau kepada sisa seni tradisional asli, seperti masih eksis di Bali.

-Bukankah lebih baik kita menaruh perhatian pada perlindungan antiques dan "tribal art" yang hingga kini tetap diboyong ke luar negeri oleh pedagang-pedagang yang kurang etis.

-Bukankah lebih baik berbicara tentang perlindungan sosial dan kesejateraan para seniman dan pelaku seni lainnya.

-Bukankah lebih baik ini dan itu?


YA, bisa jadi lebih baik. Tetapi yang kita bicarakan bukanlah ini semua, melainkan lukisan palsu. Karena membicarakan lukisan ialah juga membicarakan infrastruktur seni rupa Indonesia. Dan selama lukisan palsu merajalalela, membenahi aspek-aspek lain dari infrastruktur seni rupa adalah sesuatu yang mustahil dilakukan.Maka kita harus membicarakan lukisan palsu.


Saya sudah tahu bahwa ada orang yang berkata: tak perlu berbicara tentang lukisan palsu, apalagi tentang jaringan pemalsu, karena hal itu "sama dengan menuding." "Apa lagi", tambah mereka, "yang kita saksikan adalah buaya lawan buaya", atau "pertarungan kolektor Jakarta lawan kolektor Jawa Tengah", atau "klik ini lawan klik itu". Seolah-olah harus netral karena "semuanya kotor". 

Seolah-olah tidak ada moralitas di dalam dunia seni rupa.

Tudingan seperti ini terlalu mudah, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Di dalam hal seni rupa seperti di dalam hal-hal yang lain, ada modal yang kotor, dan ada modal yang bersih. Apapun kritik terhadap para pemiliknya, ada yang kegiatannya membantu lalu-lintas barang dan menguntungkan masyarakat, ada juga yang merusak perekonomian serta melahirkan aneka salah duga dan prasangka di masyarakat. Melawan lukisan palsu adalah bagian dari upaya besar membersihkan bangsa ini dari korupsi dan penyelewengan yang tidak hanya merugikannya, tetapi merusak seluruh tatanan sosialnya dan bahkan berpeluang melahirkan aneka macam disfungsi sosio-politik makro. 


Maka jangan kita ragu, kita berkewajiban secara moral untuk memberantas lukisan palsu seperti memberantas semua penyelewengan serupa.  

Bagaimana keadaan yang kita gugat: kasus-kasus lukisan palsu berjubel: pernah ada kasus DKJ, ada kasus Magelang, ada kasus Gunarsa, ada kasus koleksi Bank Indonesia, kini ada kasus buku Hendra Gunawan, dan banyak kasus lagi yang tidak terungkap atau tidak menarik perhatian media.

Apakah kita boleh membiarkan situasi ini terus berlangsung, menanti kasus baru, menanti muncul lagi kolektor yang ditipu, penulis yang diperdaya, dan pelukis yang ditinggal pasar? Tidak. 


Kita harus melawan.

Apa tujuan perlawanan kita terhadap lukisan palsu:

-Tentu, dengan melawan komplotan lukisan palsu kita ingin agar lukisan –dan benda seni Indonesia—berakhir di tangan yang tepat, yaitu di tangan pencinta seni, apakah di tangan kolektor itu sendiri, atau di tangan museum dan institusi seni lainnya.

-Melampaui kolektor, kita ingin agar para pencinta seni dapat mencintai seni demi seni itu sendiri, tanpa pikirannya digerogoti oleh keraguan terhadap karya yang disukai atau dimilik. Kita ingin suatu ragam "cinta seni" yang murni dan bebas dari segala pra-duga.

-Kita juga ingin agar para ahli seni –apakah para kurator, para wartawan seni, para penulis seni, para akademikus—dapat menjalankan tugasnya, tanpa diganggu kecurigaan-- apakah  kecurigaan terhadap karya seni yang dikaji, ataupun kecurigaan pihak luar terhadap kejujuran mereka sendiri.

-Akhirnya kita juga ingin agar para seniman hidup layak di dalam suasana yang optimal, oleh karena adalah suatu kenyataan bahwa pasar seni rupa dan, dengan sendirinya, kesejaterhaan dari para pegiat seni, telah terpukul oleh skandal-skandal lukisan palsu yang secara berkala menimpa duni seni Indonesia.



BAGAIMANA melawan komplotan lukisan palsu?

Kutukan moral perlu, dan harus tegas, tetapi tidak cukup. 

Yang kita butuhkan ialah suatu sistem otentifikasi yang melampaui kepentingan dari para kolektor, pialang, dan galeris, yang melampaui kepentingan dari para akademisi, kurator, kritikus dan penulis, tetapi yang mewakili kepentingan dari mereka semua, apapun perbedaan kepentingan atau bahkan ketegangan pribadi atau sektorial yang dapat memisahkan mereka dari sudut tertentu.

Yang kita butuhkan ialah suatu sistem otentifikasi yang objectif, ilmiah, bertanggung-jawab, berkode etis yang jelas dan ketat, terbuka pada kritik, berlandasan hukum yang tegas dan rinci, diperkuat oleh prosedur otentifikasi yang andal dan sah, diakui luas, dan sesuai standar-standar otentifikasi yang berlaku secara internasional. 

Harus menentukan standar otentifikasi yang sedemikian tinggi sehingga pihak apapun yang berani menolak proses otentifikasi terhadap karya miliknya yang diragukan" keasliannya dengan sendirinya akan dianggap menyimpan karya palsu dan akibatnya dimarginalkan dari dunia seni.

Kesulitan yang paling besar ialah membawa karya yang diragukan di hadapan para ahli yang mempunyai pengetahuan yang tidak diragukan untuk menetapkan keaslian atau kepalsuannya. Teknik-teknik forensik modern –terutama teknik imaging dan digital baru—menjadikan identifikasi karya palsu atau karya asli relatif mudah, kecuali untuk karya yang sangat baru/kontemporer. 

Bahkan keotentikan atau bukti kepalsuan kini sering dapat dilakukan tanpa mengacu pada analisa stilistik dan bukti sampingan lainnya yang sejak abad 19 telah umum dipakai untuk menilai keotentikan karya lukis.  

Indonesia belum memiliki laboratorium forensik nasional yang cukup andal untuk meneliti dan kemudian menjamin keotentikan karya seni rupa. Laboratorium tersebut mutlak diperlukan, dan dikelola di bawah pengawasan lembaga otentifikasi yang netral-obyektif dan terlatih. Dilengkapi peralatan imaging termodern, serta disertai tenaga imaging, analis kimia, dan sejarawan seni yang professional, dilengkapi laporan tertulis dan tersertifikasi di hadapan ahli hukum tentang asal, tempat, proses, semestinya segala keraguan yang masih ada di seputar keotentikan/kepalsuan lukisan-lukisan tertentu dapat diselesaikan di dalam waktu yang cepat.

Sebenarnya, di negara-negara maju pun, teknik-teknik otentifikasi telah lama mengandung unsur-unsur subyektif, ketika keputusan keotentikan suatu karya ditentukan oleh analisa terhadap komposisi, garis, sapuan kuas, umurnya kayu, paku dll. Hal ini membuka peluang untuk aneka manipulasi. Tetapi kini, penerapan teknik forensik mutakhir telah merevolusi analisa dan mereduksi secara drastis kadar subjektif evaluasi. Banyak kasus lukisan klasik simpanan museum besar telah lama diragukan otentitasnya tetapi kini dapat diselesaikan dengan baik dengan bantuan teknik forensik terbaru. Yang masih tetap sulit diotentifikasi keasliannya ialah karya-karya sezaman yang dibuat dengan teknik dan bahan yang sama. Untuk karya-karya seperti itu rekam jejak yang terdokumentasi, evaluasi stilistik serta keterangan dari lingkungan hidup seniman masih tetap merupakan faktor penentu.

Sejarah seni rupa sarat dengan pemalsu. Beberapa pemalsu telah menjadi tokoh terkenal, misalnya Hory, seorang Hungaria yang pada waktunya dapat meniru sebagian besar dari pelukis modernis School of Paris (Matisse, Modigliani, Picasso, Degas etc), atau Van Meegeren, yang berhasil menciptakan "karya-karya palsu" dan terutama karya yang pada waktu itu dianggap lukisan Vermeer yang terbaik. Kedua figur itu sudah menjadi legendaris di dalam dunia seni rupa…Namun harus diketahui bahwa skandal karya seni palsu yang terbesar telah terjadi sebelum teknik forensik mutakhir ditemukan.

Kini, di negara maju, meski masih tetap terdapat seniman dan pialang lukisan yang aktif memproduksi dan/atau memasarkan karya seni yang palsu, penipuan itu semakin sulit dilakukan,kecuali untuk karya yang menempati posisi pasar yang "medium", karena para galeris, auction houses dll biasanya enggan membiayai penelitian forensik yang lengkap dari karya kelas itu. Oleh karena kesulitan tersebut, kini para korban alias pembeli lukisan palsu pada umumnya adalah pihak yang kelewat "polos" atau lalai, yang dengan terlalu mudah mempercayai tawaran dari agen pasar yang tidak jujur. Tetapi untuk karya-karya yang "top", teknik-teknik otentifikasi serta pengetahuan tentang latar belakang sejarah, biografi, stil dan teknik adalah sedemikian tinggi sehingga menjadi semakin sulit mengibuli pelaku pasar yang semuanya was-was dan informed. Lebih-lebih lagi, perangkat hukum --dan terutama status delik penipuan—cukup jelas rumusannya serta cukup pasti hukumannya untuk menakut-nakuti para petualang kelas kambing. 

Di Indonesia sebaliknya, perangkat hukum lemah, institusi seni lemah, sistem forensik lemah dan pengetahuan publik lemah. Di samping itu lingkungan ekonomi mendukung tindakan spekulatif. 

Situasi seperti itu cukup diminati para petualang dan penipu di dalam segala bidang.  Tetapi oleh karena ber-risiko rendah dan berpenghasilan tinggi, sambil menjami status sosial yang terhormat, tidak sedikit petualang yang terjun di dalam bisnis perdagangan lukisan palsu. Kita wajib menekspose mereka. Itulah tujuan kita berada disini.  



Saya berpikir bahwa apa yang dipaparkan di atas adalah cukup jelas untuk menyatakan: 

-Bahwa pernyataan subyektif seorang pemilik karya, betapapun canggih orang tersebut, tidaklah cukup untuk menjamin dengan pasti keaslian suatu karya.  Menjamin keaslian dengan kalimat seperti "Akulah yang paling tahu" adalah mengundang kontroversi; bila pernyataan itu diulang-ulang tanpa pembuktian lebih kongkret kontroversi menjadi kecurigaan, yang pada tahap berikutnya menjadi kepastian bahwa karya yang bersangkutan adalah palsu. Di dalam bidang seni rupa tidak ada intuisi dari siapapun yang dapat secara absolut membuktikan keaslian. Intuisi hanya salah satu dari sekian banyak factor. Jangan kita lupa bahwa Van Meegeren pernah berhasil menipu semua ahli Vermeer. Penilaian intuitif harus didukung oleh pembuktian yang tidak terbantahkan.


Bila intuisi bersifat relatif, apalagi "pernyataan" dari keluarga seorang seniman. Bahwa seseorang adalah anak atau isteri dari seniman tertentu tidak pernah menjadikan orang itu sebagai faktor bukti yang menentukan. Apalagi bila orang yang bersangkutan tidak hidup sehari-hari dengan seniman itu. Kesaksian anggota keluarga hanyalah salah satu di antara sekian banyak alat bukti. 

Sebenarnya di dalam bidang seni rupa pembuktian mutlak adalah  hasil dari suatu gugus bukti. Ada kalanya dimana asal, sejarah dan  ciri-ciri stilistik memberikan info yang cukup meyakinkan untuk  membuktikan asal dan keaslian dari suatu karya. Ada kalanya juga dimana bukti asal harus ditelusuri lebih jauh, dan dimana keraguan diselesaikan oleh kajian forensic yang tak dapat diragukan. Tetapi bagaimanapun juga pihak yang jujur akan selalu terbuka pada kajian pelengkap. Pihak yang jujur selalu akan menginginkan kepastian.

No comments:

Post a Comment