Tuesday, October 25, 2011

LOMBA KOSTUM RAMAYANA dari SAMPAH PLASTIK



Ada lomba menarik, siapa tau ada yang berminat untuk ikutan: 




 
LOMBA KOSTUM RAMAYANA dari SAMPAH PLASTIK BIENNALE JOGJA XI
PENDAFTARAN TERAKHIR --- 4 NOVEMBER 2011
 
 
HADIAH
 
Juara I, II, III untuk kostum anak-anak:
Uang Tunai + Piala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
 
Juara I, II, III untuk kostum dewasa:
Uang Tunai + Piala Dinas Pariwisata Propinsi DIY
 
 
SYARAT UMUM PESERTA:
1. Warga/tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 2.000,-
3. Berumur minimal 13 tahun (perorangan)
4. Dapat diikuti perorangan atau kelompok
5. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu kostum
6. Pemenang lomba harus bersedia menyumbangkan hak cipta karyanya untuk diperbanyak sebagai kostum pementasan Lawa Kusa
 
KETENTUAN KARYA:
1.  Kostum berbentuk berbagai binatang (kuda, gajah, jerapah, badak, merak, angsa, ular, dll) dan tanaman/bunga
2.  Rancangan harus unik dan menarik
3.  Ukuran kostum bebas, ukuran anak-anak atau dewasa
4.  Bahan dasar kostum harus sampah bungkus/kemasan plastik dari salah satu/lebih produk (makanan, minuman, sabun cuci, pewangi, dll)
5.  Kostum tidak boleh memunculkan logo ataupun merk serta tidak memihak salah satu merk produk tertentu
6.  Kostum harus utuh dan siap pakai (tidak boleh hanya bawahan atau atasan saja), lihat contoh
7.  Kelengkapan lain seperti topi, senjata, tameng atau sepatu boleh dimasukkan sekalian dalam kostum
8.  Kostum akan dipawaikan dengan model/peraga yang boleh dipilih sendiri
9.  Kostum terbaik mendapat uang tunai sebesar Rp100.000 (untuk 100 kostum)
10.          Batas waktu pengumpulan kostum adalah tanggal 22 DESEMBER 2011
11.          Pendaftaran peserta dan pengambilan formulir dapat dilakukan sampai dengan tanggal 4 November 2011 di kantor Yayasan Biennale Yogyakarta
 
Pendaftaran langsung ke:
Yayasan Biennale Yogyakarta
d.a Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta
Telp. (0274) 587712 atau (0274) 9330134
 
Kontak Mbak Dewi atau Mas Blorok
Fb : Biennale Jogja Sebelas atau Biennale Jogja XI
Twitter: @BiennaleJogjaXI
 
*Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat
 
 
LAWA KUSA - Lomba Kostum Ramayana Berbahan Sampah Plastik
 
Adalah tahap ke-2 proyek Ramayana Gubahan Baru yang diinisasi olehYayasan Biennale Yogyakarta. Proyek pertunjukan Ramayana versi baru, dengan seni rupa sebagai basis penciptaannya, akan melibatkan seluas-luasnya masyarakat Yogyakarta.
 
Mengapa Ramayana?
Ramayana, bukti silang budaya Indonesia dan India, adalah sendratari ciptaan maestro-maestro Indonesia beberapa puluh tahun lampau. Sinta Obong adalah bagian paling syahdu dan dianggap puncak pencapaian. Selama puluhan tahun pula tidak ada usaha pembacaan ulang atasnya. Sehingga epik ini, seolah-olah, hanya berkisah seputar cinta Rama dan Sinta.
 
Yayasan Biennale Yogyakarta melalui Panitia Biennale Jogja XI ingin mengajak masyarakat Jogja secara luas, terlibat mengalami persilangan budaya antara Indonesia dan India dengan mengkreasi-ulang RAYAMANA, selain itu mengajak masyarakat untuk aktif dan penuh gairah membaca kembali tradisi.
 
Lakon yang diangkat dalam gubahan baru ini adalah dari sudut pandang Lawa Kusya sebagai wakil teks tandingan. Lawa Kusya adalah teks yang tidak populer yang sedemikian lama harus menandingi teks yang sudah mapan. Sebagaimana agama (dengan institusinya) yang selalu memperebutkan posisi versi utama, versi-versi Ramayana ini menggambarkan proses tawar menawar yang alot dan penuh kekerasan.
 
Secara visual Lawa Kusya mewakili yang kalah, yang tidak glamour, yang tidak di pentas, yang tidak terlihat, namun memberi ruang refleksi yang lebih luas bagi penontonnya.
 
Lawa Kusa adalah anak kembar Rama dan Sinta, yang diasuh oleh Empu Walmiki. Dikisahkan dalam situasi terlunta-lunta karena diusir oleh Rama, Sinta meninggal dunia ketika melahirkan Lawa dan Kusa. Dalam pengasuhan Empu Walmiki, Lawa dan Kusa si anak yatim, tumbuh menjadi pemuda tampan, pintar ilmu sastra, dan mandiri. Menginjak dewasa, Lawa dan Kusa berniat mencari Rama sang ayah. Dalam perjalanan, ke Ayodya dari padepokan Empu Walmiki, Lawa dan Kusa menempuh perjalanan menerobos hutan rimba, padang rumput, sawah ladang, pedesaan, dan perkampungan.
 
 
KOSTUM  LAWA KUSA dari SAMPAH PLASTIK
Sebagai proyek komunitas yang diagendakan bisa berkelanjutan dan senantiasa terbarui, kami ingin melibatkan masyarakat Yogyakarta untuk bersama-sama merancang kostum Lawa Kusa, dan aneka binatang yang ditemui mereka dalam perjalanan. Kostum tersebut harus terbuat dari sampah konsumsi sehari-hari yang anorganik. Perancangan kostum Lawa Kusa ini disertai lomba yang terbuka untuk umum. Kostum dari sampah anorganik hasil kreasi masyarakat ini nanti akan dipawaikan, dan diperagakan di Monumen SO 1 Maret.
 
MENGAPA SAMPAH?
Sampah telah menjadi masalah bagi siapa saja, menjadi problem lingkungan hidup yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun, terutama sampah anorganik.Yogyakarta sebagai salah satu daerah tujuan wisata ternama di Indonesia, harus mampu menjawab tantangan yang mendesak dikelola ini. Sampah plastik dan usaha-usaha pengelolaannya adalah tanggungjawab bersama antara masyarakat dan Pemerintah.
 
URUTAN PELAKSANAAN KEGIATAN:
1.  Sosialisasi dan Workshop = 1 Oktober – 15 Desember 2011
2.  Penjurian Lomba dan Gladi Bersih Pawai = 28 Desember 2011
3.  Pawai Kostum Lawa Kusa = 2 Januari 2012
 
Biennale Jogja XI didukung oleh:
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kedutaan Besar India untuk Indonesia and Pusat Kebudayaan India di JakartaSahabat Biennale Jogja, Kawan Sukarelawan, Perusahaan dan Organisasi pendukung lainnya akan diumumkan kemudian.
 
Partner MediaArdhia FM, Art Monthly Australia, Biennial Foundation, C-Arts Magazine, GCD FM, Gemma AM, Geronimo FM, Global FM, HarianJogja, Jiz FM, Jogja Family FM, Jogja TV, Jogjanews.com, KR Radio, Koran Tempo DIY &Jateng, MBS FM, Metro TV, Nafas Art Magazine and Universes In Universe, Pipeline Magazine, Radar Jogja, Radio Bantul, Radio Persatuan, Star Jogja FM, TAKE on art Magazine, UTY FM Medari, U-Magazine, Visual Arts Magazine.
 
Kontak Media:
Elga Ayudi
Mobile : +62 (0) 81328499008
 

 

Saturday, October 1, 2011

Ajakan Partisipasi dalam Biennale Jogja XI sebagai Kawan Sukarelawan


Hal       : Ajakan Partisipasi dalam Biennale Jogja XI sebagai Kawan Sukarelawan



Yogyakarta, 1 Oktober  2011



Dengan hormat, 

Biennale Jogja XI (BJ XI) akan segera berlangsung yaitu pada 26 November 2011 s.d 8 Januari 2012. Salah satu program BJ XI adalah Magang dan Sukarelawan, yang bertujuan meluaskan pengetahuan tentang seni rupa, saling belajar, membuka kemungkinan terbukanya jejaring-jejaring baru stakeholder seni rupa, dan saling berlatih kemampuan komunikasi, berorganisasi, dan keterampilan lain secara khusus.
Para pendaftar program sukarelawan, mereka berasal dari beragam usia, termuda adalah pelajar SMP dan tertua adalah berusia 60 tahun seorang pensiunan pegawai negeri.  Terdiri dari beragam profesi, pelajar, mahasiswa, perawat, pegawai kantor pemerintah, pegawai bank, seniman, dokter, dll. Para sukarelawan akan ditempatkan di venue-venue utama indoor BJ XI yaitu Jogja National Museum dan Taman Budaya Yogyakarta, venue outdoor yang menyebar di ke-4 kabupaten, menjadi asisten seniman, menjadi fotografer, petugas informasi, dll. Jumlah sukarelawan yang akan membantu even BJ XI adalah 100 orang.
Sehubungan dengan program Magang dan Sukarelawan tersebut di atas, kami panitia penyelenggara mengharapkan partisipasi anda sebagai donatur untuk pengadaan konsumsi bagi para Sukarelawan. Jumlah dana yang kami perlukan untuk konsumsi para Sukarelawan selama pelaksanaan BJ XI adalah Rp. 15.000.000,-  

            Bentuk sumbangan Anda bisa berupa:
  1. Uang tunai minimal sebesar  Rp 150.000,00 atau
  2. Menyumbang berupa minimal 15 snack dos lengkap dengan minuman, seharga Rp. 10.000/ dos.
Sumbangan berupa uang tunai bisa langsung anda transfer ke rekening:
  1. Yayasan Biennale Yogyakarta, BCA, No. 0373030772
  2. Yayasan Biennale Yogyakarta, BNI46, No. 224031615
Kabar mengenai minat Anda untuk berpartisipasi kami tunggu selambatnya tanggal 15 Oktober 2011. Waktu penyerahan sumbangan berupa snack dos, akan dikabarkan kemudian mendekati BJ XI berlangsung. Bagi anda yang tertarik berpartisipasi sebagai Kawan Sukarelawan, silahkan menghubungi Julia Tetuko – Kolektor Kawan Sukarelawan, HP no: 081804311249.
Sebagai ucapan terimakasih dan penghargaan, kami akan mencantumkan nama anda sebagai Kawan Sukarelawan di Buku Panduan Biennale Jogja XI 2011 dan Katalog Biennale Jogja XI 2011.
Demikian ajakan ini kami sampaikan, atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terimakasih.

Hormat kami

Yustina Neni (Ketua Panitia Biennale Jogja XI) & Julia Tetuko (Kolektor Kawan Sukarelawan)

Monday, June 13, 2011

Makna dalam Koleksi Family Life

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, dunia seni rupa kita kacau (karena enggan menggunakan istilah carut-marut). Beberapa tahun belakangan ini memang semakin banyak kolektor, tapi sebagian besar dari kolektor itu membeli karya senirupa bukan untuk dijadikan bagian dari koleksi, tapi untuk kemudian diperjual belikan. Sehingga, kebanyakan karya seni yang dibeli, nasibnya hanya bertumpuk dalam sebuah kamar dan tidak pernah dipajang untuk dinikmati sebagai karya seni. Padahal, koleksi karya seni seharusnya dapat dinikmati sebagai karya seni yang memberikan rasa keindahan, kebanggaan, menunjukkan wawasan dan pemikiran pemiliknya.
     Di tengah kekacauan  dunia seni rupa kita, tentunya ada beberapa kolektor yang serius juga. Ada yang bahkan mendedikasikan bangunan khusus untuk mempertontonkan koleksinya. Dan dengan diterbitkannya buku Family Life ini, kita juga lihat bahwa ada kolektor yang ternyata menetapkan fokus dalam pengkoleksian karyanya, sementara kolektor Indonesia yang serius biasanya mengkoleksi secara antologis dan eklektik. Koleksi Katimansjah memang unik.
    Fokus pada suatu tema dalam mengkoleksi karya senirupa, sangat menarik dan memberikan makna baru. Artinya, kumpulan karya-karya seni dalam suatu koleksi yang memiliki fokus, memiliki makna yang lebih daripada makna tiap-tiap karya dalam koleksi itu. Hal itu bisa digali lebih lanjut, dan itulah yang kita bisa baca dalam tulisan-tulisan yang dihadirkan di dalam buku Family Life ini: St. Sunardi membahas tentang hubungan dramatis ibu dan anak dan tentang kebersamaan pasangan dalam karya seni yang ada dalam koleksi keluarga Katimansjah, Engelina Prihaksiwi membahas tentang menyusui, sedang Helena Spaanjard memberikan ulasan umum tentang koleksi Kel. Katimansjah.

    Yang mencengangkan dari koleksi Family Life Kel. Katimansjah adalah bahwa koleksi ini ternyata tidak terbatas pada karya seni rupa Indonesia saja, tapi menyertakan berbagai jenis karya seni dari seluruh dunia. Juga, koleksi ini tidak terbatas pada karya seni rupa dalam arti lukisan atau pun patung yang dibuat oleh perupa yang memiliki nama dan posisi dalam peta senirupa Indonesia, tapi juga benda-benda seni hasil karya perupa yang tidak diketahui namanya. Jadi di antara koleksi Kel. Katimansjah, terdapat antara lain patung-patung pasangan dari Kalimantan yang sangat ekspresif (pl. 347/p. 192), patung Bali dari daerah Bulelang yang lucu sekaligus anggun (pl. 122/p. 81), karya Tau-tau yang sangat detail pembuatannya (pl. 490/p. 273), patung perupa Cina seperti Chen Weling yang benar-benar lucu (pl. 317/p. 181),karya-karya Gregorius Sidharta dan Amrus Natalsya (pl. 289 & 290/p. 170 & 171), serta karya pematung kenamaan asal Columbia, Fernando Botero (pl. 172/p. 85). Tentunya masih banyak lagi patung lain dari berbagai budaya di dunia dan oleh berbagai perupa Indonesia dan mancanegara yang dapat ditemukan dalam koleksi ini. Banyak juga karya yang diberi label anonymous, dalam arti nama perupanya tidak diketahui. Ibu Santi Katimansjah pernah menekankan bahwa dalam mengkoleksi mereka tidak terlalu mempedulikan nama perupa tapi lebih mementingkan nilai arsitistik karya seninya.

    Dalam koleksi lukisannya terdapat karya yang mungkin lebih konvensional dalam melukis tema ibu dan anak, percintaan, menyusui, dan keluarga, oleh perupa Indonesia terkemuka seperti Barli Sasmitawinata (pl. 115/p. 76), Soedibio (pl. 105/p. 69), Djokopekik (pl. 38/p. 26), Mulyadi W. (pl. 374 & 277/p. 211),
Eland (pl. 347/p. 192); serta para perupa asing yang melukiskan Indonesia seperti Antonio Blanco (pl. 41/p. 28), Ceslaw Mystkowsky (pl. 73/p. 46), GP Adolfs (pl. 196/p. 130, dan Cristiano Renato (pl. 136/p. 92). Suatu subkoleksi dengan tema Madonna juga menjadi bagian dari koleksi seni rupa Kel. Katimansjah. Selain beberapa icon Rusia (pl. 137/p. 93), juga ada karya unik dari Leo Eland (pl. 134/p. 90), dan bahkan karya perupa kontemporer Indonesia yang mengangkat tema itu seperti karya Dipo Andy (pl. 190/p. 126) dan Agus Suwage (pl. 169/p. 112).

    Namun, sebagian besar karya seni lukis dalam koleksi Kel. Katimansjah adalah karya para perupa muda. Hal ini merupakan bukti bahwa Kel. Katimansjah memang menunjukkan kepedulian atas perkembangan senirupa Indonesia, dan kita harus salut pada perhatian itu. Namun, di sisi lain, terdapatnya karya dari beberapa perupa yang kadang-kadang masih menunjukkan "perjuangan" artistiknya, membuat orang mempertanyakan kualitas koleksi itu secara keseluruhan. Ini seolah-olah bertentangan dengan yang ditekankan Ibu Santi Katimansjah sebelumnya. Mungkin dalam kesempatan ini saya langsung saja menyampaikan beberapa pertanyaan untuk lebih memahami koleksi Kel. Katimansjah:
•  Terutama dalam mengkoleksi karya perupa muda, apakah selalu hanya nilai artistik karya itu yang dipentingkan? Ataukah juga dilihat potensi perupa itu juga menjadi pertimbangan dan apakah memang ada maksud mengkoleksi untuk memberikan dukungan?
•  Apakah ada pergeseran atau perkembangan cara pandang dalam mengkoleksi, dari waktu ke waktu?
•  Ke mana arah pengkoleksian seni rupa Kel. Katimansjah di masa mendatang?
Beberapa penulis sudah membahas koleksi Kel. Katimansjah, dan Irma dan Rai telah menuliskan beberapa kata, namun sebenarnya saya atau mungkin juga kita masih berharap dapat mengetahui lebih banyak tentang alasan-alasan Dr. Eddy dan Ibu Santi Katimansjah mengkoleksi karya-karya seni mereka satu per satu.

    Di tengah kekisruhan tentang Undang-undang Pornografi yang sudah disetujui DPR, koleksi Kel. Katimansjah membuka mata kita lebih lanjut tentang ketelanjangan, kebugilan, dan pornografi. Begitu banyak karya dalam koleksi Kel. Katimansjah yang memperliahtkan figur perempuan bugil dengan payudara terbuka pada figur yang molek. Namun, tidak ada sedikit pun kesan bahwa karya itu merupakan bagian dari pornografi. Tentunya bagi dr. Eddy, seorang dokter ahli ObGyn, melihat tubuh dan bahkan kelamin perempuan merupakan kejadian sehari-hari dalam hidupnya. Hal ini membuat kita paham bahwa yang membuat suatu citra atau bentuk itu menjadi pornografis, bukanlah citra atau benda itu sendiri, namun orang yang melihat dan memanipulasinya. Itu di antaranya, hal yang bisa kita dapatkan dari koleksi Kel. Katimansjah, selain yang sudah dibahas oleh para penulis buku Family Life.

    Tentunya, melihat begitu banyaknya koleksi Kel. Katimansjah, masih banyak lagi yang bisa digali. Dan yang didapat atau digali itu tidak perlu yang rumit-rumit, sulit-sulit atau pun besar-besar. Misalnya saja, koleksi Kel. Katimansjah membawa Landung Simatupang ke dalam suatu refleksi pribadi pada ibunya dan keluarganya. Itu tidak kalah bermaknanya dari tema-tema besar yang dihadirkan dalam tulisan-tulisan lain dalam buku itu, karena dalam senirupa yang penting adalah komunikasi pribadi antara karya seni rupa dan pemirsa, atau pun antara suatu koleksi dan pemirsa yang melihatnya dan menikmatinya.

    Kendati terus terang ada beberapa hal yang mengganjal dalam buku ini, saya sangat senang bahwa di tengah-tengah dunia seni rupa kita yang kacau, ada upaya sekeluarga kolektor yang mau menghadirkan suatu buku yang memperlihatkan contoh apa yang seharusnya dilakukan atas sebuah koleksi senirupa. Jika karya-karya senirupa yang dibeli akhirnya hanya diperjual belikan, mungkin ada keuntungan finansial yang diraih. Namun apakah karya-karya senirupa itu dapat memberi arti lebih dalam atas pemikiran atau kehidupan pemiliknya? Marilah kita tinjau kembali mengapa kita perlu mengkoleksi senirupa.

Monday, January 17, 2011

Yogya, the Mural-hearted City




originally published in Jakarta Java Kini, 2007
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Since the 1990s, visual artists in Yogyakarta have worked on creating murals throughout the city. Although in the beginning, mural emerged sporadically, since 1997 a group called Apotik Komik, which consisted of Samuel Indratma, Bambang Toko Wicaksono, Arie Diyanto and Popok Tri Wahyudi, started to look at their work on the city’s walls as an art project that can contribute to the city’s community.
    Starting the year 2000, the group worked on a wall beside the house of one of the artists in the group, Samuel Indratma, and later they looked for more spaces for the expression, particularly walls that were neglected. “The facilities were readily available since many of Yogya’s walls were not maintained well and some were even dilapidated, so we thought, there is space for our work,” explained Samuel.
    “In the beginning, we did not even call it mural, as we were not aware of the term,” told Arie Diyanto. “We called it simply, ‘comic for walls’!” he reminisced. “Our aim was essentially to decorate the city,” explained Bambang ‘Toko’ Wicaksono. “In the end, it became a forum that is able to gather people in the government who were so bureaucratic, architects who are so idealistic, and artists who wanted to be free to express themselves,” he added.
    Certainly the efforts of the mural artists were not always met with a positive response. Some people liked it, some people do not quite get it. Gudeg vendor Sunarto thought that the murals seemed to make the city appear dirty, especially since he did not understand what was being painted. Yet, he was open minded enough to realize that perhaps the younger people would understand. By contrast, becak driver Mardi thought that the murals really rejuvenated the city and was amazed at the visual likeness of the figures in the paintings to real human beings.
    The legality of the creation of murals certainly is an issue with which some artists have to deal. Many murals were done by “bombing” a wall during the night time, just like a guerilla attack. When visual artist Tatang wanted to strike on a site not far from the Yogya station, the security guards noticed, fired some shot into the air, but the young men could escape. However, when they tried to return not long thereafter, they were ambushed and the six artists in Tatang’s team were caught.
    Creating murals might of course be considered vandalism, but according to Samuel Indratma, the corporations using posters can be seen as greater vandals. He questions what the community benefits from the posters. “To be sure, the community does not get anything intellectually from the posters,” he said. Indeed, corporate posters can also be seen as making people become more consumptive, if anything.
    Mahatmanto, an architect and critical observer of urban issues, sees the murals are able to contribute to the community. He sees the potential of murals in forming the identity of a community. If people in the community and the artists are able to work together on the creation of murals, it can make people feel more at home in their community. Artists need to adopt a public strategy that would make the residents of the city participate in the process, which would them feel more comfortable and be able to better enjoy their city.
Living near a dam that extends through seven community groups, artist Eko Nugroho proposed a project to paint a mural on the walls of the dam. The community offered a positive response and even wanted to participate. Finally the project was approved and the district head provided some funds for the project, which was primarily used to buy paints.
    One of the residents offered the artists a modest amount of money if they would also paint his house. When he was asked what he wanted them to paint, the man told them that he sold dawet  (a kind of dessert that uses rice pudding immersed in a syrup drink of palm sugar or cendol as it is known in Jakarta) and perhaps they could paint something with a message telling people that they accept orders too. When the artists finished painting, the man’s wife thanked them for the nice picture, but expressed her complaint as well: she said that when selling dawet, she never wore a kebaya and sarong costume as was portrayed in the picture!
    In any case, she accepted the mural in front of her home anyhow, and now it is part of Yogya’s numerous murals that has turned Yogyakarta into a “Mural-hearted” City.



This article is heavily based on the interviews compiled in the Jogja Berhati Mural video produced by C Cinema. Copies of the DVD can be ordered from IVAA (Indonesian Visual Arts Archive, a non-profit organization dedicated to the documentation of Indonesian visual arts, based in Yogyakarta). Contact  HYPERLINK "http://www.ivaa-online.org" www.ivaa-online.org for futher details.

Friday, January 14, 2011

Sudjojono Sketched, I Tweet

This is the original version of an article published in the December 2010 edition of Now! Jakarta
- – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - – - -









I was invited to present my research on the Indonesian pioneer modern artist Sudjojono for the launch on a new book about his sketches in Bandung, at the end of October. The most efficient way to get to Bandung, was to take what is popularly known as “executive limousines”. I would not have to get stressed out with the traffic, and so I could either nap a little bit, or do what seems to be my favorite pastime of late: tweet!
Yes, I tweet, and I don’t only tweet a bit, I tweet about 50 tweets a day, or about two tweets an hour. What do I tweet, you would ask. Well, I mostly tweet my thoughts and observations. Anything that comes to mind because of what I see during the two-hour ride to Bandung, I would tweet. I would tweet about the interesting designs of the new bridges crossing the toll road. I would tweet about what anything I observed about the rest stops along the toll road. I would tweet about the old rail road structures and bridges that could be seen from some parts of the toll road. I would tweet about how strange the Cipularang toll system was, as they needed to provide a booth where riders were required to exchange toll cards.
Twitter lets people share their thoughts, observations or even any information, joke, anger, or even random comments with anyone who care to follow and hence “listen” to them. The followers and/or other people can respond to those tweets in any way they want. I often find that people’s responses to my tweets helps me develop my thoughts. That’s what I like most about twitter.
The book “Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran Sudjojono”, (“The Drawing Specialist: Sketches, Drawings and Thoughts of Sudjojojono”) written by Aminudin TH Siregar, was auspiciously launched on Youth Pledge Day, October 28th, 2010, at Bandung’s Institute of Technology (ITB). A select number of Sudjojono’s sketches and drawings were also exhibited at ITB’s Soemardja Gallery.
My book on the artist, entitled “S. Sudjojono, Visible Soul”, published in 2006, included about 400 of the master’s paintings. In the new book, over 200 sketches and drawings were elegantly reproduced. I have seen and studied many of the sketches when I did my research on for “Visible Soul”, but taking another look at them all compiled in a single book, made me realize what they meant in the oeuvre of the artist. While the paintings tended to be the artist’s finished, final product, the sketches and drawings revealed much of his artistic process and thoughts.
Over 30 of the sketches were studies that Sudjojono had done as part of his research to complete the monumental mural about Sultan Agung’s attack on Batavia which he did for the Jakarta Historical Museum on Taman Fatahillah. Prior to the Museum’s inauguration in 1974, he did various studies on the subject matter, and even spent time in museums and libraries in the Netherlands to study the psychological and philosophical aspects of the events around the attack, as well as various aspects of the way of life, particularly dressing and grooming, also architecture, social interaction and even fighting and warfare.
Through these sketches, we know that the artist had a thorough understanding about the differences in small details of the head attire of the Sultan’s troops, as he also did about the differences about the various kinds of sleeves and pantalons in the costumes of the colonial forces. Apparent from the sketches was that the artist went through quite a number of studies before coming up with the final composition of the war scene in the mural.
The artist often made sketches as studies, especially when we worked larged sized paintings or reliefs. When he did monumental paintings, sometimes he would use a grid system as a means to transfer the composition from the study drawing to the painting. This is apparent in his paintings entitled “Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku” (“Indonesia My Country”) (1964), or “Achirnya Kita Menang Djuga” (“Finally, We Win”) (1966), “Orang-orang Mengambil Air” (“The Water Collectors”) and other sketches for reliefs.
Other than monumental reliefs, from the sketches and drawings, it is clear that Sudjojono also had several ideas for free standing statues, including the “Penakluk Alam” (“Conqueror of Nature”) statue (1958), which he conceived for the Cikalong dam. the “Wanita Pelempar Peluru” (“Female Shotputter”) (1961) which he conceived to be placed for the Kebayoran Electricity Station, built for the 1962 Asian Games. In the notes it seemed that he had received commission for the work from Prof. Dr. Sedyatmo, who was at the time the head of the Planning Bureau of the State Electricity Company. Several sketches and drawings also reveal that ince 1960 Sudjojono had been working on the Monumen Selamat Datang (“Monument of Welcome”) for the 1962 Asian Games which featured an atheletic couple, man and woman, dressed in sports attire. While the man and woman are posed in various gestures and poses, they both seem to carry flowers in their hands, so as to extend a warm and festive welcome.
The sketches often reveal the artist’s thoughts that do not appear in the refined, finished fine art work. The extensive notes that are written in some sketches of landscapes often provide tremendous insight into the commissioning, the discussions, thoughts and ideas that pertain to the painting, and reveal the working process of the art piece. Far too often, these notes are omitted from the final painting. leaving a beautiful painting, but devoid of the thinking and deliberations that the artist went through in its creation. Fortunately, a good number of the sketches have been salvaged to provide us with a different side of Sudjojono, a side that has been until now, neglected.
Rose Pandanwangi, Sudjojono’s beloved wife was a diva who continuously became the Radio Republik Indonesia’s “Radio Star”. As he was so enamored by his wife, he would take her to the radio station’s studio every time she had a rehearsal. Some sketches also show that he conceived or at least thought about some stage designs for Puccini’s Madame Butterfly Opera, in which Rose starred. Another sketch also showed the artist’s ideas for new awards or trophies for the Radio Star title.
Even when Sudjojono was not thinking about things as important as stage designs or trophies or awards, as he was waiting for Rose as she had her rehearsals, the artist would make sketches of anything he found interesting: the interior of the recording studio, the large television camera on a movable tripod, or even the vehicles in the parking lot, or the carriages and even attire of the street vendors around the area.
No wonder Sudjojono paints his plants and vegetation so masterfully. He made various study sketches of the plants in order to comprehend their structure, shapes and even colors. Among the sketches, there are renderings and studies of banana, mango and coconut trees. He even meticulously studied the parts of bamboo shoots.
As all these sketches of observations were so interesting, I wanted to share them with my twitter followers. When I took pictures of them I realized something: if Sudjojono were alive today, he would probably be tweeting all his observations instead of rendering them in his sketchbook. All the small details that he sketched were in a sense tweets of the past.
Taking that thought into account, the hundreds of sketches that have been compiled in this wonderful book, became so much more valuable to me. They not only provided wonderful insights the artistic process of a great artist, but also became priceless real artifacts that recorded a part of history. The sketches allowed us to know many things about what happened twenty five to over fifty years ago. Last but not least, the book also made me think: what will happen to our knowledge of the history and art of today in another fifty years?
Amir Sidharta