Sunday, July 17, 2016

Historiografi Seni Rupa Indonesia: Antara Ketidaktelitian dan Ketidakpedulian



Historiografi Seni Rupa Indonesia: Antara Ketidaktelitian dan Ketidakpedulian






Dalam tulisan berjudul Tiga Sudjojono yang terbit di harian Jawa Pos hari Minggu, 10 Juli 2016 yang lalu, penulisnya menyerang ketidaktelitian saya menulis judul sebuah karya Sudjojono sebagai Di Depan Kelamboe Terboeka, Di Balik Kelamboe Terboeka dan Di Balik KelambuTerbuka sebagai "kemanasukaan" yang menurutnya merupakan "sabur limburnya kebenaran" dalam buku S: Sudjojono: Visible Soul yang saya tulis. Digunakannya tiga cara penulisan judul karya pelopor seni rupa modern Indonesia itu saya akui sebagai keteledoran saya. Tapi, kalau pengkritik itu bermaksud untuk membuat buku itu sama sekali tidak layak digunakan sebagai referensi, saya kira hal itu suatu upaya untuk mengangkat harkat dan martabatnya sendiri dengan cara merendahkan lawan yang tak pantas. Jelaslah bahwa penulis itu suka mencari-cari kesalahan kecil untuk mengemukakan suatu isu yang seolah-olah sangat penting. Kesalahan Agung Hujatnikajennong yang dalam bukunya Kurator dan Kuasa menulis tahun pembuatan karya Sudjojono itu sebagai tahun 1941 (padahal seharusnya tahun 1939), diungkitnya seolah kesalahan itu sangat fatal. Padahal tulisannya itu sebenarnya cukup tampil sebagai errata (koreksi salah tulis) belaka.
            Setelah mengatakan bahwa keteledoran saya yang seolah meremehkan judul bisa dianggap sebagai upaya memalsukan karya seni rupa itu, si penyerang itu malah bertutur bagaimana Umar Khayam pun tidak mengingat judul lukisan itu secara tepat. Namun, tentunya tidak berani menyalahkan sastrawan yang disebutnya sebagai mahaguru tersebut, Sama-sama kurang teliti, orang besar tetap tersanjung, sementara orang kecil dihujat. Itulah nasib.

            Ketelitian memang faktor yang sangat penting dalam penelitian, dan saya bukan bermaksud untuk menganggap bahwa keteledoran tidak perlu dihindari. Penulis akademis tentu kita perlu teliti dan tidak teledor. Namun, jika hasil kerja penulis yang sudah mendasarkan tulisannya pada penelitian dan sumber-sumber yang seprimer mungkin, ternyata teledor dan kurang teliti, apakah patut hasil penelitiannya sama sekali dianggap tidak berarti sama sekali? Di negara maju di mana editor profesional benar-benar mengambil peran sebagai penyunting yang handal dan selalu memeriksa kembali kebenaran fakta-fakta yang dituliskan dan menyelaraskan cara penulisan nama orang, judul karya atau tahun sebuah karya seni dibuat, tentunya keteledoran dan ketidaktelitian penulis bisa langsung teridentifikasi dan dikoreksi.
            Munculnya tiga cara penulisan judul dari satu karya yang konon melukiskan pelacur Pasar Senen yang sempat mendapat perhatian khusus dari Sudjojono tersebut , sebenarnya dikarenakan pelukisnya sendiri tidak membubuhkan judul pada karya itu. Rupanya, judul itu pertama muncul dalam ulasan Soetijoso tentang pameran lukisan Indonesia di Kunstkring Jakarta pada bulan Mei 1941 yang terbit pada majalah Poedjangga Baroe No. II Tahun VIII, Mei 1941, di mana penulis itu menyebut lukisan itu sebagai Di Depan Kelambu Terbuka (No. 42). Sayangnya, saya baru mendapatkan transkripsi digital dari terbitan itu dan belum mendapatkan salinan visual dari dokumen tersebut, sehingga ejaan yang digunakan juga belum dapat dipastikan. Juga belum jelas apakah judul itu merupakan judul yang didaftarkan pelukis kepada panitia, atau sekedar deskripsi yang dibuat panitia untuk memudahkan pengidentifikasian karya yang dipamerkan. Yang jelas, sejak itulah karya itu dikenal dengan judul tersebut.

             Judul Before the Open Kelambu sebagaimana dituliskan Claire Holt dalam bukunya Art in Indonesia: Continuities and Change mungkin terjemahan dari judul dari ulasan Soetijoso tersebut atau mungkin juga rekaan kritikus seni Jeanne de Loos-Haaxman yang dirujuknya. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan "Before the Open Kelambu" itu di depan kelambu pada sebuah tempat tidur atau di balik kelambu yang hanya merupakan elemen ornamental yang menarik tidak pernah jelas. Mungkin Sudjojono malah bermaksud menempatkan perempuan itu secara visual berada persis di bawah bukaan kelambu sehingga tidak di depan atau pun di baliknya. Ketimbang mempersoalkan keteledoran penulisan judul karya itu, sebenarnya akanlah lebih menarik untuk menyelidiki lebih lanjut hubungan judul itu dengan istilah "buka kelambu" seperti yang muncul dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misalnya. Jika Sudjojono pun memang mengenal istilah "buka kelambu" tersebut, kelambu dalam lukisan itu malah menjadi elemen simbolis yang sangat bermakna.
           
            Para peneliti seni rupa tidak akan memungkiri bahwa historiografi seni rupa Indonesia bermasalah, dan hal ini mungkin dikarenakan banyak peneliti lebih suka mencari-cari kesalahan rekan-rekannya yang mereka anggap sebagai saingan dan musuh yang harus mereka kalahkan, agar diri mereka bisa lebih maju. Sampai saat ini, berdirinya Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) belum dapat dipastikan apakah tahun 1937 atau 1938 karena belum ditemukannya sumber primer yang dapat menjadi rujukan yang definitif. Namun, pada catatan kaki dalam ulasan Soetijoso yang sudah disebutkan di atas, tertera bahwa perkumpulan itu didirikan didirikan pada 23 Oktober 1938. Terbitan itu mungkin merupakan rujukan yang paling dapat dipercaya hingga saat ini.
            Jika kita memang benar-benar prihatin pada permasalahan historiografi seni rupa Indonesia, kita sebenarnya sangat perlu mempermasalahkan metodologi beberapa kurator mengkurasi pameran seni rupa dan membentuk teori-teori dan narasi yang sama sekali tidak berdasar? Mengapa ketidaktelitian begitu cepat disimpulkan sebagai kemanasukaan, sedangkan dibentuknya teori dengan semena-mena berdasarkan khayalan spekulatif dan tidak relevan dan berlebihan tanpa kepedulian pada otentisitas karya terus ditolerir? Kalau memang peduli, marilah kita bersama-sama membangun historiografi seni rupa Indonesia yang lebih baik secara dewasa. Kita bukan hanya harus lebih teliti, tapi juga harus lebih peduli.

--Amir Sidharta