Wednesday, September 23, 2009

Janji Joko, media baru dan cara pandang baru kita

Sementara banyak orang di Indonesia masih bingung soal komitmen pemimpin kita tentang apa yang dijanjikannya dalam kampanyenya, penulis skrip/sutradara film Joko Anwar yang hingga kemarin siang hanya memiliki 1000 followers di twitternya, ternyata menepati janjinya untuk masuk Circle K telanjang jika ia mendapat 3000 followers hari itu. Hanya 3 jam setelah tweetnya itu, ia sudah mendapat lebih dari 3000, dan pada sekitar pk. 19 kemarin dia sudah dapat hampir 8000.

Sedikit lewat tengah malam, ia berdiri telanjang di sebuah Circle K sedikit di luar Jakarta. Menantikan kejadian itu, para pengguna twitter meninggalkan televisi dan me"nonton" layar smartphone atau komputer mereka dan menantikan tweet baru dengan tegang. Tweet kok ditonton?

Akhirnya, foto dari penepatan janji yang berani ini diupload, dan para penonton twitter bersorak dan memberikan penghormatan pada Joko Anwar. Ia, seorang yang tidak menyangkal dirinya gay, ternyata lebih jantan dari para lelaki yang mengaku jantan dan karena itu lebih dari gender lain, tapi ternyata tidak bisa menepati janji. Menurut Joko, janji adalah janji dan harus ditepati, walau pun tindakan menepati janji itu bisa mengakibatkan tuntutan hukum.

Sekarang ini kita sedang menemukan media baru, tapi bersamaan dengan itu juga kita menemukan suatu persepsi baru tentang gender, soal preferensi sexual, komitmen dan arti dari integritas, termasuk integritas politik. Kita sedang menyadari betapa kuatnya media baru ini, bagaiman hal itu dapat mentransformasi cara pandang kita.

Selain itu kita juga menyadari bahwa transmisi kata-kata sepanjang hanya 140 karakter dapat lebih menarik daripada apa yang disuguhkan industri mahabesar televisi. Mungkin twitter dibandingkan dengan televisi adalah seperti buku dibandingkan filmnya. Imajinasi kita bisa bermain, kata seorang teman di twitter.

Yah, pokoknya, Janji Joko sudah dipenuhi, maka mari kita tuntut: Wahai politisi, mana janjimu?!

Monday, September 21, 2009

Macet? Coba check, apa karena "bottle neck"?

Kemacetan seringkali timbul karena keadaan jalanan itu sendiri bikin masalah. Contoh yang paling umum adalah penyempitan jalan, yang lazim disebut dengan "bottle neck". Botol berbadan besar dengan leher yang kecil tentu akan mengakibatkan air di dalamnya sulit untuk keluar, bahkan seringkali mengakibatkan gelembung-gelembung udara yang makin menyulitkan air itu keluar. Hal yang sama dapat kita temukan di jalanan yang menyempit.

Mari kita perhatikan keadaan di Jl. Lada, Jakarta Kota. Jalan itu bermula sebagai Jl. Pos Kota, dari arah utara ke selatan. Setelah pertemuan dengan Jl. Ketumbar yang datang dari arah timur, jalan itu menjadi Jl. Lada. Lalu jalan itu bertemu dengan Stasiun Kota sehingga harus berbelok ke kanan (ke arah barat) dan menjadi Jl. Stasiun Kota. Titik di mana Jl. Lada berbelok menjadi Jl. Stasiun Kota selalu terjadi kemacetan yang sangat parah.



Kalau diteliti, hal itu terjadi karena terjadinya bottle neck di daerah itu. Dari foto di atas ini jelas tampak bahwa jalanan berlajur ... (coba hitung berapa) yang dipadati paling tidak  ... (coba hitung berapa) baris kendaraan, tiba-tiba harus berbelok dan melebur menjadi jalanan berlajur  ... (coba hitung berapa) yang dipadati  ... (coba hitung berapa) baris kendaraan. Untuk membuat tiap kendaraan mau mengalah masuk ke lajur yang lain karena penyempitan jalan/pengurangan lajur, membutuhkan waktu. Keadaannya sekarang diperparah dengan adanya lajur busway/TransJakarta.

Sebenarnya solusinya untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi kemacetan di sini cukup mudah. Tapi mengapa hal ini tidak dapat diatasi para traffic engineer kita? Mungkin pendekatan mereka terlalu mengandalkan kalkulator. Padahal pendekatan visual langsung mengidentifikasi masalah dan solusinya pun bisa tampak.

Ayo, mau tebak atau kasih usul bagaimana kita bisa mengatasinya?

Juga kita identifikasi apa saja pasal-pasal yang bermasalah dalam UU
Film, misalnya.

Beberapa Solusi Sederhana Mengatasi Kemacetan dengan Perancangan

Pertemuan Jl. Joko Sutono & Jl. Wijaya I





Banyak sekali permasalahan kemacetan kota bisa dikurangi dengan langkah perancangan sederhana. Hal ini misalnya bisa dilakukan pada titik kemacetan di pertemuan antara Jl. Joko Sutono dan Jl. Wijaya I. Pada saat ini, terdapat tiga titik persilangan pada segitiga pertemuan itu. Pada jam-jam pulang kantor, banyak kendaraan yang datang dari Jl. Joko Sutono bagian utara ke arah selatan dan ingin berbelok ke kanan (barat) masuk Jl Wijaya I, untuk selanjutnya ke Jl. Prapanca Raya. Sementara itu, juga ada kendaraan yang datang dari Jl. Prapanca Raya atau Jl. Iskandarsyah masuk ke Jl. Wijaya I dan ingin terus ke arah timur untuk selanjutnya ke Jl. Kapten. Tendean atau Jl. Walter Monginsidi. Pertemuan dua arus itu mengakibatkan persilangan lalu lintas yang pelik, belum lagi ada lalu lintas sekunder yang juga mengakibatkan persilangan-persilangan.




Permasalahan di titik pertemuan antara Jl. Joko Sutono dan Jl. Wijaya I ini dapat dikurangi dengan suatu langkah sederhana yaitu membuat Jl. Wijaya I pada segmen segitiga pertemuan itu menjadi satu arah ke arah barat. Sedang kendaraan yang ke arah timur di Jl. Wijaya I, pada segmen itu harus berbelok ke kiri sejenak dan berbelok ke kanan masuk bagian akhir Jl. Joko Sutono dan kemudian lanjut di Jl. Wijaya I ke arah timur. Sementara pada titik pertemuan itu Jl. Joko Sutono juga dibuat hanya berlekuk ke kiri dengan kemungkinan untuk berbelok ke kanan ke arah barat di Jl. Wijaya I.



Pertigaan Keluar tol Cilandak-Bintaro & jalan menuju tol Bintaro-Serpong



Permasalahan serupa juga muncul di pertigaan antara jalan keluar tol Cilandak-Bintaro dan jalan menuju tol Bintaro-Serpong. Terutama pada pagi hari, banyak kendaraan yang datang dari bundaran Sektor IX Bintaro dan ingin berbelok ke kanan (barat) ke jalan tol Bintaro-Serpong, sementara juga tidak sedikit kendaraan yang datang dari Pondok Ranji ingin belok ke kanan (selatan) untuk masuk tol Bintaro-Cilandak, dan juga ada kendaraan dari jalan tol Cilandak Bintaro yang ingin menuju Sektor IX Bintaro.  Luasnya daerah yang tersedia untuk pertigaan ini makin membuat keadaan lalu lintas berpotensi semerawut, sehingga seringkali diperlukan petugas untuk mengatur kendaraan di sini.




Padahal, permasalahan lalu lintas di pertigaan ini dapat dikurangi dengan suatu langkah sederhana yang intinya mengurangi persilangan lalu lintas, yaitu dengan menambahkan suatu segitiga yang mengalihkan persilangan menjadi titik penyatuan jalur (merge) yang serupa dengan bundaran. Tanpa petugas pun, arus lalu lintas dengan sendirinya akan harus lebih teratur. 

Kendaraan yang datang dari Pondok Ranji ingin belok ke kanan (selatan) untuk masuk tol Bintaro-Cilandak, dialihkan sehingga harus mengikuti dulu arus kendaraan ke kiri (utara) kemudian baru berputar balik ke kanan (selatan) untuk masuk ke jalan yang menuju jalan tol Bintaro Cilandak. Kendaraan yang datang dari bundaran Sektor IX Bintaro dan ingin berbelok ke kanan (barat) ke jalan tol Bintaro-Serpong, juga harus mengikuti arus lalu lintas mengitari segitiga dan baru berbelok ke kanan (barat) ke tol Bintaro-Serpong. Sementara kendaraan dari jalan tol Cilandak Bintaro yang ingin menuju Sektor IX Bintaro, harus sedikit berkelok mengikuti lekukan segitiga pula. Solusi sederhana ini akan membuat berkendara di daerah ini lebih nyaman dan aman.






 

Nyang Bener Aja! — Ngebenerin Kota Jakarta

Jakarta ibukota kita tercinta memang kacau sekali. Kekacauan ini memang disebabkan karena dari awal kota ini tidak dirancang dengan baik. Namun dalam perkembangannya rancangan-rancangan arsitektural yang semakin memperburuk keadaan dibiarkan muncul dan menjamur di kota kita ini. Selain itu, sikap kita juga semakin memperburuk lagi keadaan yang sudah buruk. Saya ingin perkenalkan beberapa permasalahan yang mudah-mudahan akan ditanggapi oleh para arsitek, perancang (dari desainer landskap hingga mode), perupa dan pemerhati kota lainnya.