Sunday, April 8, 2012

Demi Pemahaman Seni Rupa Indonesia: Menyimak Koleksi Pilihan Museum OHD

Demi Pemahaman Seni Rupa Indonesia: Menyimak Koleksi Pilihan Museum OHD
versi lengkap dari tulisan yg diterbitkan di Kompas Desember 2011


Seorang ibu tampak mempersiapkan dagangan ikannya, seorang bapak dengan sekop di bahunya bersiap membantunya, dan beberapa orang lain tampak sibuk di latar belakang. Sementara itu, sosok-sosok keluarga nelayan yang terdiri dari seorang nenek yang duduk, persis di tengah-tengah, perempuan-perempuan di sampingnya, anak kecil perempuan dan laki-laki di depan mereka, anak-anak gadis dengan seorang bayi di belakang sang nenek, serta seorang bapak diujung kiri, semua tampak menatap ke arah fajar di kanan. Matahari tidaklah tampak dalam lukisan itu, bahkan mungkin pula sebenarnya memang belum muncul, tapi para pemirsa lukisan itu bisa tau bahwa memang mereka menatap ke arah timur, ke arah di mana cahaya kuning kemerah-merahan di langit bersinar terang bersumber, karena dampak cahaya itu pada wajah sosok-sosok itu. Itulah salah satu karya paling bagus dalam seni rupa Indonesia, adikarya pelukis Itji Tarmizi, salah satu dari banyak karya yang sangat menarik dalam pameran Pilihan Museum OHD yang ditampilkan di Bentara Budaya Jakarta hingga tanggal 22 Desember 2011 mendatang.

Museum OHD adalah museum yang dikembangkan dari koleksi dr. Oei Hong Djien, seorang dokter kelahiran Magelang tahun 1939, yang hidup dan dibesarkan di lingkungan yang penuh seni. Sejak muda ia pun sering mengunjungi museum-museum. Namun, ia baru mulai mengoleksi karya seni rupanya sendiri sejak tahun 1980an, dan beberapa karya seni koleksinya dibeli dengan cara mencicil.

Kepiawaiannya memilih tembakau membuatnya dipercaya oleh perusahaan-perusahaan rokok besar, sehingga keahlian itu menjadi mata pencahariannya. Pekerjaannya itu, menurutnya, menyediakan waktu luang. Kota Magelang yang merupakan tempat tinggalnya pun tak jauh dari Yogyakarta, “lumbung” seni rupa Indonesia, terutama para perupa hasil didikan Institut Seni Indonesia. Selain aktif mengunjungi pameran-pameran seni rupa di kota-kota besar di Indonesia, serta pelelangan-pelelangan di Singapura, Hong Kong bahkan Amsterdam, sejak belum banyak orang mengoleksi seni, dari waktu ke waktu OHD didatangi para pedagang seni yang menawarkan karya-karya seni yang hendak dijual oleh keluarga atau kerabat para perupa lama. Namun, yang paling menarik adalah bahwa OHD juga sering dikunjungi para perupa muda yang membutuhkan “sokongan” dalam berkarya seni. Timbullah hubungan yang saling menguntungkan dan saling mendukung: sang kolektor mendapat karya-karya seni yang terbaik dari para perupa muda itu, dan mereka mendapat sokongan moral dan finansial dari OHD.

Pendekatan mengkoleksi OHD yang selain dimaksudkan untuk menghimpun koleksi yang terbaik dari para perupa muda, juga mendukung kelangsungan berkesenian mereka, membuat kita yakin bahwa Museum OHD yang didirikannya bukanlah semata-mata untuk pamer kehebatan koleksinya saja, tapi juga sebagai suatu sarana di mana masyarakat umum, termasuk juga para perupa, dapat melihat dan mempelajari karya seni rupa pilihannya.  Diadakannya pameran karya seni pilihan museum itu di Bentara Budaya juga membuktikan bahwa sebagai lembaga museum, Museum OHD berniat aktif mengadakan kegiatan penyebaran pengetahuan seni rupa; pameran ini adalah usahanya menjangkau ke masyarakat pemirsa yang lebih luas (outreach).  

Seperti ditulis OHD dalam pengantar di katalog, beberapa karya dalam koleksinya “belum diketahui baik oleh kolektor, galeri, balai lelang, art dealer, mau pun kurator.” Memang ini menjadi kesempatan yang baik untuk benar-benar mencermati karya-karya dalam koleksi Museum OHD tersebut. Simak misalnya lukisan Soedibio, pelukis yang tema karyanya biasanya seputar keselarasan manusia dengan lingkungan alam, atau mitologi dan legenda Indonesia. Sebagai perupa yang ikut berperan dalam perkembangan Dekoratifisme Yogyakarta, lukisannya biasanya digarapnya dengan banyak menampilkan pengulangan bentuk dan motif. Dalam pameran ini, karyanya sungguh berbeda dari subyek yang lazim dilukisnya. Karya Ke Kau Penduduk Jogja adalah karya yang dibuat tahun 1949, adalah karya yang bertema perjuangan, dan rupanya berkisah tentang berberbagai intrik yang terjadi dalam Perang Revolusi 1945-1949. Walau pun tema itu tidak lazim dilukiskan Soedibio, teknik pelukisannya yang halus dalam lukisan itu sangatlah khas karya perupa itu. Bahkan, ciri Dekoratifis perupa Soedibio pun tetap terlihat dengan ditampilkannya adegan-adegan sekunder di sisi kiri kanvasnya. Kebetulan, lukisan ini pun menghiasi sampul depan Brochure Kesenian suatu terbitan seni rupa di awal keberadaan Republik kita, lengkap dengan beberapa foto hitam putih karya Soedibio yang lain.

Walau pun Republik Indonesia sudah berusia 66 tahun, namun pengetahuan seni rupa kita masih sangat belia. Apakah yang kita ketahui tentang pelukis Trubus, anggota Lekra yang terbunuh setelah terjadinya G30S? Seberapa jauh pengetahuan kita tentang Sudjojono dan Hendra Gunawan?  Tidak ada satu pun pakar seni rupa, apakah itu pemerhati, pedagang, kurator yang paling terpandang atau pun kolektor yang terbesar, yang memiliki pengetahuan yang lengkap tentang senirupa dan sejarah senirupa Indonesia. Juga belum terjadi konsensus yang sehat di antara mereka. Yang terjadi justru bisik-bisik atau kasak-kusuk di belakang, dan ada juga yang saling menjelek-jelekan, tuding-menuding dan bahkan saling tuntut-menuntut. Padahal, hal itu sangatlah merugikan bagi kita semua. Agar pengetahuan seni rupa Indonesia semakin meningkat, kita masih sangat perlu belajar tentang karya-karya seni rupa dengan sejarah dan maknanya. Kita perlu secara terbuka melakukan diskusi dan pembahasan tentang seni rupa, agar pengetahuan kita semakin berkembang dan pemahaman kita semakin benar.  

Dengan mengadakan pameran di Bentara Budaya Jakarta ini,  Museum OHD telah  membuka diri menjadi ajang di mana kalangan seni rupa Indonesia bisa bukan hanya  menikmati, tapi juga mempelajari, meneliti dan mengkaji karya-karya yang dipamerkan. Pengamatan yang teliti penuh rasa ingin tahu bisa merangsang terbukanya wacana untuk meningkatkan pemahaman kita tentang seni rupa Indonesia. Sebagian besar dari sekitar 75 lukisan yang dipamerkan sangatlah layak untuk disimak dan dinikmati. Menarik untuk diamati, misalnya, persamaan tema dan perbedaan antara teknik pelukisan, ekspresi, pembentukan wujud serta komposisi karya Ke Kau Rakyat Jogja karya Soedibio dengan karya Peta yang dibuat hanya dua tahun seblumnya. Sebenarnya pemajangan dua karya itu persis bersebelahan tentunya sengaja dimaksudkan agar para perupa melakukan perbandingan itu. Munculnya kawat berduri dan bunga mawar dalam lukisan Peta itu, yang membuat kita ingat pada karya Semsar Siahaan, juga menambah rasa ingin tahu kita pada lukisan itu.


Selain lukisan Menatap Fajar karya Itji Tarmizi, banyak karya lain yang tidak kalah bagus, diantaranya Rose Mencuci karya Sudjojono, Dua Sahabat karya Kusnadi, dan Sang Pelukis karya Syahri. Lukisan Jalan-jalan memperlihatkan sudut pandang Basoeki Abdullah yang sangat unik dan membedakan koleksi OHD dari koleksi para kolektor lain. Basoeki Abdullah yang dikenal menamilkan sosok dan tokoh yang selalu tampil indah bahkan lebih indah dari kenyataannya, dalam lukisan ini  melukiskan dua pemuda berdiri di depan toko di lingkungan kota, sambil menonton perempuan yang berjalan di depan mereka, suatu pemandangan kehidupan sehari-hari yang khas tahun 1950an. Lukisan itu menjadi suatu rekaman sejarah budaya kita. Memang tiap kolektor perlu berani mempunyai perspektif yang khas, agar koleksi mereka berkarakter. Terlalu banyak kolektor di Indonesia hanya ikut-ikutan saja, sehingga koleksinya tidak “berbicara”.

Mudah-mudahan pameran koleksi Pilihan Museum OHD  di Bentara Budaya Jakarta ini menjadi permulaan dari semangat masyarakat seni rupa Indonesia untuk  suatu tujuan mulia kita bersama: mengembangkan pengetahuan tentang seni rupa Indonesia secara terbuka. Pameran ini seharusnya juga mengingatkan para kolektor dan lembaga swasta lain yang telah berani membuka “museum” swasta mereka, bahwa museum bukan sekedar tempat pemameran, tapi pada intinya adalah lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan mereka perlu mengedepankan program yang benar-benar memberdayakan fungsi itu.


Amir Sidharta, pengamat seni rupa (twitter: @senirupa)

No comments:

Post a Comment