Thursday, August 6, 2015

Lukisan Oplosan S. Sudjojono Di Museum OHD

Lukisan Oplosan S. Sudjojono di Museum OHD
oleh Aminudin TH Siregar


Pada awal 2000, S. Sudjojono Center (SSC) pernah menyiarkan keprihatinan mereka sehubungan dengan merebaknya peredaran lukisan-lukisan palsu S. Sudjojono di tanah air. Menurut SSC, sepanjang 1996-2000, dari 53 lukisan S. Sudjojono yang ditawarkan dalam 17 katalogus lelang, di antaranya 17 lukisan adalah palsu dan enam diragukan. Balai lelang yang memproduksi katalogus tersebut bukan hanya balai lelang lokal, juga internasional. Dalam siaran pers tersebut juga dikatakan bahwa sejumlah lukisan S. Sudjojono yang diantar ke SSC untuk keperluan verifikasi lebih dari 80% palsu.[1]

Pemalsuan disebabkan tingginya permintaan pasar yang tidak wajar terhadap lukisan-lukisan para maestro – ini tak terjadi hanya untuk karya S. Sudjojono, tetapi Raden Saleh, Affandi, Hendra Gunawan, Popo Iskandar, Srihadi S, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, Zaini, maupun sejumlah nama terkemuka lainnya.[2] Dari rantai distribusinya, diketahui bahwa lukisan-lukisan palsu itu tak hanya diperjualbelikan melalui situs-situs dunia maya dan galeri-galeri seni, tetapi juga merambah secara sistematik ke balai-balai lelang seni terkemuka.[3] Bahkan tidak jarang transaksi jual-beli lukisan palsu ini disertai dengan motif penipuan.[4] Ironisnya, pembelian lukisan palsu “para maestro” dengan nilai transaksi milyaran ini tak hanya dilakukan kolektor secara pribadi, tetapi juga oleh institusi pemerintah.[5]

Heboh lukisan palsu memang sudah berlangsung cukup lama. Tapi tidak ada yang lebih fenomenal ketika pada awal April 2012, beberapa saat setelah OHD Museum yang baru diresmikan bersamaan dengan peluncuran buku Lima Maestro Seni Lukis Indonesia karangan Oei Hong Djien (OHD), masalah lukisan palsu ini merebak ke permukaan. Isu ini dimulai oleh segelintir orang yang meragukan keaslian lukisan-lukisan Hendra Gunawan, S. Sudjojono, dan Soedibio yang terpajang di dalam museum di kota Magelang, Jawa Tengah tersebut. Di “forum” jejaring sosial facebook, keraguan itu semakin mengarah ke gugatan yang serius. Seakan menanggapi “forum facebook”, tak berapa lama setelah itu, digelar acara Fine Art Roundtable Discussion di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Dalam acara yang dihadiri oleh beragam kalangan, mulai dari kolektor, kritikus, kurator, seniman, pemilik galeri, dan Oei Hong Djien sendiri ini gunjingan tentang koleksi palsu OHD Museum memanas dan mengemuka secara terang-terangan. Beberapa hari kemudian, sejumlah media massa nasional ramai-ramai menurunkan laporannya.[6] Sekitar dua bulan selepas acara diskusi, Majalah Tempo menerbitkan hasil investigasinya. Seluk-beluk kejanggalan dalam koleksi OHD Museum yang ditemukan Tempo semakin menebalkan kecurigaan bahwa sejumlah lukisan S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio yang terpajang di OHD Museum yang baru sebenarnya bukanlah karya para pelukis tersebut.[7]

Tulisan ini akan meninjau, membahas, dan menganalisa desain, genre, corak atau gaya, format, karakter, dan perubahan-perubahan signifikan dari sejumlah perwakilan lukisan, sketsa, dan gambar S. Sudjojono yang dikerjakan pada kurun waktu 1939 – 1983. Diharapkan, tinjauan, analisa dan sebagainya itu bisa  menyumbangkan satu titik terang sehubungan dengan bermunculannya lukisan, sketsa, dan gambar yang dinyatakan sebagai karya S. Sudjojono.[8]

Tulisan ini dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: Perihal Sejarah Seni Rupa; S. Sudjojono dan Kronik Lukisannya dalam Sejarah; dan Analisa Lukisan dan Kejanggalan-kejanggalan.

Perihal Sejarah Seni Rupa Indonesia, Kelemahan Metode dan Implementasinya

Selain pasar, pemalsuan lukisan di Indonesia lebih disebabkan kelemahan kita dalam penulisan sejarah seni rupa. Tampak bagaimana sejak 1950-an sampai hari ini, masalah terbesar dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia tak hanya terletak pada ketidaklengkapan kronologisnya[9], tetapi juga bertalian dengan kelemahan metode sejarah yang digunakan oleh para penulisnya.

Penulisan sejarah sebelum 1950-an ditemukan dalam bentuk artikel yang dimuat di dalam majalah-majalah kebudayaan meski pada 1946 kumpulan tulisan S. Sudjojono Seni Lukis, Kesenian dan Seniman sudah diterbitkan dalam bentuk buku kecil. Buku ini  adalah buku perintis sejarah seni rupa Indonesia. Baru kemudian pada 1956, usaha penulisan sejarah seni rupa yang lebih sistematik dilakukan. Pada 22 Juni 1956, untuk pertama kalinya sejarah seni rupa Indonesia diwacanakan dalam sidang kedua Seminar Ilmu dan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ketika pada 1967 buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Change diterbitkan[10], Indonesia belum punya buku sejarah seni rupa. Publikasi-publikasi berbentuk buku yang terbit, khususnya yang ditulis oleh “sejarawan Indonesia”, belum berhasil melampaui kitab Claire Holt ini. Satu-satunya “kelebihan” publikasi buku sejarah seni rupa pasca Holt adalah pembahasan yang meninjau situasi seni rupa dekade 1990-an. Itupun hanya menyentuh garis besarnya saja.[11]

Pada 1977, 10 tahun setelah buku Holt atau sekitar 20 tahun setelah Seminar Sejarah, buku Sejarah Seni Rupa Indonesia yang disusun oleh tim penulis pimpinan Kusnadi diterbitkan.[12] Tetapi, kita segera kecewa setelah membaca bagaimana pendekatan sejarah buku yang diterbitkan secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan inibelum sanggup menandingi, apalagi melampaui buku Claire Holt. Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan, terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, buku versi Pemerintah inilah buku yang pertama kali secara terang-terangan menggunakan kata “sejarah” sebagai judulnya. Sementara, bisa dibandingkan,  publikasi-publikasi lain yang terbit pasca buku Holt - meskipun memanfaatkan alur, kronik sejarah –tetap saja tidak menggunakan “sejarah” sebagai judul utamanya. Selain buku  Claire Holt, dewasa ini, buku Sejarah Seni Rupa Indonesia tahun 1977 menjadi klasik dan menjadi buku “sejarah seni rupa pertama” yang diterbitkan oleh bangsa ini.

Pendekatan sejarah seni bisa terbagi ke dalam dua kategori besar: (1) analisa formal, berisi metode maupun pertanyaan yang lebih memerhatikan aspek visual dan fisik sebuah karya seni. Dalam pendekatan ini, kita memperoleh jawaban dari sebuah karya tanpa harus mengacu ke sumber-sumber luar; sebaliknya, (2) analisa kontekstual, menuntut kita melihat sisi luar dari sebuah karya. Dalam hal ini, kita harus memahami bagaimana sebuah karya mengekspresikan dan membentuk pengalaman, ide dan nilai-nilai individu maupun grup yang mengerjakan, menggunakan, melihat dan memilikinya. Guna mengembangkan analisa ini, kita harus meninjau bukti-bukti pendukung, termasuk keterhubungan antar karya, buku-buku, dokumen pribadi seniman, dan aneka bukti pendukung lainnya.[13] Dua pendekatan inilah yang sebisa mungkin dimanfaatkan dalam menganalisa lukisan-lukisan S. Sudjojono.


S. Sudjojono dan Kronik Lukisannya dalam Sejarah

Bagian ini akan mencatat perkiraan kronik jumlah lukisan S. Sudjojono (1913-1986) dengan memanfaatkan bukti-bukti berupa dokumen yang tersebar dalam suratkabar, majalah, brosur, dan katalogus pameran. Dengan metode seperti ini, diharapkan sekurang-kurangnya, kita bisa mengetahui dan menghitung seberapa banyak lukisan S. Sudjojono yang beredar di medan seni rupa Indonesia selama dia berkiprah sebagai pelukis. Metode ini, mau tidak mau harus dilakukan, mengingat belum ditemukannya cara lain untuk menginventarisir jumlah lukisan S. Sudjojono.

Sebelumnya, mari kita mulai dengan mengenal sosoknya terlebih dahulu.

Sebagai pelukis, S. Sudjojono adalah kanonikal figur seni rupa Indonesia. Selain menghasilkan pemikiran berbentuk esai dan kritik seni, S. Sudjojono sudah melahirkan ratusan lukisan, patung, monumen, relief, dan sejumlah karya keramik. Karya-karya S. Sudjojono ini bisa dipilah secara periodikal berdasarkan tarikh pengerjaannya seperti berikut:periode Persagi (Jakarta), zaman Jepangdanmenjelang kemerdekaan (Jakarta), beberapa saatsetelah Proklamasi (Madiun), zaman Revolusi (Jogjakarta), periode Lekra(Jogjakarta) dan setelahnya (pasca 1965, Jakarta), dan zaman Orde Baru (Jakarta).[14] Karya-karyanya juga bisa dibagi ke beberapa kecenderungan tematik dan kategori berdasarkan medium yang dia gunakan.

Dari semua karyanya, sketsa dan gambar adalah yang terbanyak yang pernah ia hasilkan. Status sketsa dan gambar ini sangat penting, sebab dari situlah kita bisa menemukan, tak hanya informasi otentik tentang bagaimana sebuah lukisan itu dirancang, tetapi juga menyingkap pola pikirseniman dan dimensi kehidupannya.

Tidak sedikit pikiran-pikiran S. Sudjojono termaktub dalam catatan-catatan karya sketsa dan gambarnya. Karekter tulisan tangan S. Sudjojono sangat khas. Begitupula mengenai caranya bertutur dan berbahasa. Dalam tulisan, terkadang ia mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Tak jarang catatan-catatan itu membentuk kalimat panjang. Banyak pula yang berupa aforisme berapi-api, ditulis secara ringkas, dan bersifat metaforis. Catatan-catatan tersebut menampung keterangan yang berhubungan dengan suasana hati, informasi tentang waktu, lokasi serta keterangan lain yang bersifat dokumentari. Dalam beberapa karya lukisnya, catatan-catatan itu bisa berupa “sajak pendek”. Dengan demikian,  keberadaan catatan dalam hampir setiap lukisan S. Sudjojono sudah menjadi ciri khasnyadibandingkan dengan pelukis Indonesia yang satu generasi dengannya. Terkait dengan catatan-catatanyang muncul dalam lukisannya, S. Sudjojono mengakui: “Saya melakukannya agar karya saya lebih informatif kepada orang.”

Membuat sketsa dan gambar merupakan aktivitas keseharian S. Sudjojono. Ke manapun dia pergi, setumpuk kertas selalu dibawa. Kebiasaan ini sudah dia lakukan semenjak remaja. S. Sudjojono menggambar apa saja yang dia lihat: benda-benda keseharian, pemandangan, figur manusia, hewan, dan tumbuhan. “Jumlah sketsa yang pernah saya kerjakan banyak sekali,” ungkap S. Sudjojono, ”tetapi saya tidak berani menyebut angka yang sebenarnya, karena saya tidak pernah menghitung. Dan setiap hari, saya mengerjakan paling sedikit 2 gambar pastel.”

Menjelang 1949, S. Sudjojono cukup banyak mengerjakan sketsa dan gambar bertema perjuangan. Pada 1960-an lebih dari 90 lembar sketsa dan gambar perjuangan zaman gerilya itu dia jual kepada Adam Malik. “Saya jual ke Adam Malik seharga Rp. 150.000 setelah sannering[15] dulu. Butuh uang sih,” kata S. Sudjojono. Album sketsa dan gambar ini sering disebut-sebut sebagai karya terbaik dalam genre ini yang pernah dikerjakan S. Sudjojono. Kini, semua sketsa itu hilang tak berbekas. Adam Malik sendiri dikabarkan tidak tahu-menahu di mana sketsa yang banyak itu. “Entah terselip di kopor mana,” kata S. Sudjojono menirukan perkataan Adam Malik. Tak hanya itu, kumpulan sketsa-sketsanya selama menjalani perawatan sebagai pasien berpenyakit paru-paru di sanatorium Pulau Onrust (Teluk Jakarta) pada pertengahan 1930-an termasuk yang sulit dilacak keberadaannya.[16]

Kecuali dalam mengerjakan karya pesanan dan khususnya lukisan bertema perjuangan, ketika melukis, S. Sudjojono mengecat langsung di atas kanvas tanpa sketsa. Umumnya sketsa-sketsa untuk keperluan riset terlebih dahulu dikerjakan dengan pinsil, pulpen dan tinta di atas kertas. Salah satu lukisan yang sketsanya dikerjakan langsung di atas kanvas adalah lukisan Danau Ketenangan.[17] S. Sudjojono pernah berkata pada 1982: “Kalau melukis pemandangan, saya jarang membuat sketsanya terlebih dahulu lalu melukisnya di rumah. Biasanya saya mengerjakan langsung di tempat.”Pada tahun-tahun ini, S. Sudjojono dimudahkan melukis objek secara langsung semenjak memiliki mobil Colt.[18] Di dalam mobil berukuran cukup besar itulah dia terhindar dari terik panas, dan bisa leluasa melukis.[19]

Paparan di bawah berikut ini adalah penelusuran lukisan S. Sudjojono dari pameran ke pameran untuk memperlihatkan produktivitasnya sebagai pelukis.

Beberapa saat setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kementerian Penerangan-RI di Jakarta memprakarsai pameran Works of Indonesian Painters Today. Diikuti antara lain oleh Affandi, Hendra Gunawan, Emiria Sunassa, Sudjana Kerton, Soelarko, Kartono Yudhokusumo, Barli, Basuki Abdullah, Subanto Suriosubandrio, Koesnadi, Mochtar Apin, Abedy, Suromo, Soemitro, Rusli, dan S. Sudjojono ini adalah salah satu pameran seni lukis yang penting dicatat dalam sejarah. Setiap pelukis menampilkan 3 sampai lebih dari 5 lukisan. S. Sudjojono memamerkan 7 lukisan cat minyak yang sebagian besar ia ciptakan pada tahun-tahun sebelumnya dan sejumlah sketsa. Lukisan-lukisan tersebut adalah: Malam, Cap Go Meh, Alam, Rahwana, Sayang Kita Bukan Anjing, Suasana, dan Anak-anak Sunter.[20]

Pameran akbar lainnya yang digelar setelah Proklamasi adalah Tentoonstelling van werken van Enige Indonesische Schilders[21] yang diikuti 14 pelukis. Ini adalah sebuah pameran grup terbesar pertama yang dilakukan Indonesia di luar negeri setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Dalam pameran yang diselenggarakan di Indisch Museum Amsterdam[22] pada 1 Desember 1947 – 5 Januari 1948 ini, S. Sudjojono menyertakan 16 lukisan; 3 lukisan cat minyak, dan 13 lukisan pastel. Salah satu lukisan cat minyak di pameran ini adalah lukisan berjudul Mainan (1938).

Mainan adalah salah satu lukisan yang mewakilkan periode Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Beberapa tahun sebelumnya, pada 1941, lukisan Mainan dan Di Depan Kelambu Terbukasama-sama pernah dipamerkan dalam pameran Persagi di Gedung Batavia Kunstkring. Pameran di gedung kolonial ini adalah kali kedua bagi Persagi, setelah pada pameran sebelumnya menuai sukses di Toko Buku Kolff.[23] Lukisan Mainan memperlihatkan corak ekspresif  S. Sudjojono yang menggambarkan sejumlah anak-anak kecil bermain mengitari pohon. Corak, teknik, maupun komposisi melingkar lukisan ini tidak berbeda dengan serial lukisan lainnya seperti Anak-anak Sunter, Kinderen Met Kat, dan Cap Go Meh. Sementara lukisan-lukisan pastelnya yang merekam pemandangan Pulau Onroes, kawasan Sunter, Pejambon, Tanah Abang, Kramat, dan Tanjung Priuk menandakan bahwa lukisan-lukisan tersebut dikerjakan S. Sudjojono selama menetap di Jakarta. Ia menetap di kota ini sampai Proklamasi 1945 sebelum kemudian bergabung dengan laskar pemuda di Madiun.[24]

Dari Cikampek, S. Sudjojono dipanggil oleh markas pusat Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) ke Madiun dan ditugasi memimpin agitasi propaganda anti Belanda. Di sana S. Sudjojono diberi ruang sanggar dan bersama pelukis-pelukis muda mengerjakan poster-poster, plakat-plakat, pamplet-pamflet perjuangan. Sebagai ketua SIM dan ketua bagian seni rupa, S. Sudjojono mengajak para pelukis untuk membuat lukisan-lukisan revolusioner. Pada masa ini  S. Sudjojono mengerjakan sebuah lukisan berjudul Pandanglah Mataku– lukisan yang menggambarkan seorang mata-mata Belanda diinterogasi oleh pemuda-pemuda. Lukisan lainnya adalah portret seorang pejuang berambut gondrong dengan wajah ganas sedang membawa bedil dengan judul Napitupulu. Lukisan portret 22 kawan dan prajurit yang dibuat selama satu hari atas tantangan Trisno Sumardjo dikerjakan S. Sudjojono. Lukisan ini kelak dikenal dengan judul Kawan-kawan Revolusi.[25]

Seniman Indonesia Muda (SIM) yang antara lain didirikan oleh S. Sudjojono, D.A. Suradji, Trisno Sumardjo, Surono dan Sudibio pada 1946 di Madiun menerbitkan majalah dua bulanan Seniman dan Proletkult. Majalah Senimantak hanya meliput seni rupa, tetapi juga membahas perkembangan musik, sastra, dan memuat naskah-naskah teater.  Di bidang seni rupa, kegiatan SIM antara lain menggelar pameran besar-besaran di Jogjakarta pada 25 Mei – 3 Juni 1947 didukung Kementrian Pertahanan Biro Perjuangan. Dari pameran ini, sebanyak 65 lukisan dari 25 pelukis SIM dikoleksi Negara.[26]
Hampir dalam setiap terbitannya, majalah Seniman memuat 7-10 halaman album berisi repro foto lukisan para anggotanya. Selain lukisan, majalah ini juga memuat karikatur dan repro poster. Repro lukisan cat minyak S. Sudjojono Anak-anak Sunter (1939), misalnya, pernah dimuat di salah satu edisi majalah ini.[27] Sementara dalam edisi sebelumnya kita temukan lukisan cat minyak Swasana dan sebuah poster rancangan S. Sudjojono.[28]Lalu, lukisan berjudul Nyekar dari pelukis terkemuka ini muncul dalam terbitan khusus majalah guna memperingati 2 tahun Republik Indonesia berdiri.[29]Activitas SIM meredup seiring Agresi Militer Belanda ke-1 pada pertengahan 1947. Menurut Misa Bustam, pada masa agresi ini S. Sudjojono tidak melukis.[30]

Pada 1949, hanya Trisno Sumardjo – satu-satunya kritikus -yang mencatat hampir secara lengkap lukisan-lukisan S. Sudjojono.Tak hanya itu, Sumardjo juga menafsirkan makna-maknanya. Repro lukisan-lukisan yang dicatat oleh Sumardjo pernah dimuat di majalah Seniman. Lukisan-lukisan tersebut antara lain: Rahwana, Alam, Jalan Lempang, Anak-anak Sunter, Cap Go Meh, Di Depan Kelambu Terbuka, Pemandangan, Swasana, Sayang Kita bukan Anjing[31], Nyekar, Kawan-kawan Revolusi, dan Lihatlah Mata Kami. Tak ketinggalan, Sumardjo mencatat pula bahwa masih terdapat sejumlah lukisan S. Sudjojono lainnya (sampai tahun 1949).  Lukisan Sekko dan Mengungsi mungkin adalah yang tak tercatat oleh Sumardjo.Hal lain yang tak kalah pentingdiperhatikan adalah keterangan Sumardjo bahwa sepanjang 1948, terutama akibat Agresi Milter Belanda ke-2[32], S. Sudjojono kehilangan 10 lukisan dan beberapa patung batu hasil pahatannya yang belum dipamerkan.[33]

Sementara itu, menurut sumber lainnya, memasukidekade 1950-an, S. Sudjojono hanya menyelesaikan sedikit lukisan. Dalam catatan sastrawan Rivai Apin, misalnya, sampai pertengahan 1948, S. Sudjojono seringkali hanya memamerkan lukisan yang ia kerjakan pada masa Persagi, yaitu: Di Depan Kelambu Terbuka (1939). Menurut Rivai Apin, minimnya produksi lukisan S. Sudjojono disebabkan karena: “S. Sudjojono hanya melukis bila ada keharusan.”[34]

Menjelang akhir 1940-an, S. Sudjojono memasuki kehidupan yang sulit. Kenyataan ini juga pernah digambarkan oleh wartawan Rosihan Anwar:[35] S. Sudjojono tampak duduk di los pasar, bertelanjang kaki dan menjual sketsa pada orang-orang desa yang digambarnya.[36] S. Sudjojono menerima pesanan sketsa atau gambar dari pedagang sayur, mandor, juga petani. Pada masa ini, bersama keluarganya, S. Sudjojono menetap di Desa Bogem, sebelah barat Candi Prambanan. Pada masa sulit ini, organisasi SIM memasuki masa non-aktif sampai pada awal 1950 dihidupkan kembali dan mampu bertahan sampai pertengahan 1950-an. Salah satu proyek terakhir yang melibatkan S. Sudjojono dan para anggota SIM adalah pengerjaan relief di Bandara Kemayoran.[37]

Semasa tinggal di Desa Bogem, S. Sudjojono meluangkan waktu untuk memikirkan kembali arah perjuangan keseniannya. S. Sudjojono mulai berpikir untuk tidak mau bekerja untuk Pemerintah - seperti yang ia lakukan di SIM. Ia bertekad bekerja hanya untuk melukis dan mempersiapkan pameran tunggal. Untuk itulah S. Sudjojono mulai mengumpulkan lukisan-lukisannya semasa Persagi, zaman Jepang, masa-masa revolusi fisik dan semasa bermukim di Desa Bogem. Sebanyak 45 lembarlukisan berhasil terkumpul. Ketika Agresi Militer Belanda ke-2[38]meletus, S. Sudjojono menyimpan lukisan-lukisan itu ke dalam tabung dan menguburkannya ke dalam tanah. Ketika agresi reda, S. Sudjojono - yang sebelumnya mengungsi ke Desa Kragan ke arah utara Prambanan  - kembali ke Desa Bogem. Sesampainya di situ, ia hanya menjumpai serpihan-serpihan kanvas berserakan akibat terbakar. Lukisan-lukisan potret yang ia kerjakan sejak zaman Jepang ikut musnah tidak tersisa selembar pun. Sementara pahatan-pahatan batunya dijadikan sasaran tembak tentara Belanda.[39]

Peristiwa itu membuat S. Sudjojono sangat terpukul. Dia menyadari bahwa kondisi tanah air semakin memburuk karena penjajahan juga segala bentuk kekejaman, penderitaan sosial yang terjadi akibat Agresi Militer Belanda. Kepercayaannya bahwa salah satu hakikat kesenian adalah melayani masyarakatnya, memojokkan S. Sudjojono ke dalam situasi yang membuat dia hanya menjadi penonton. Seni harus memperbaiki masyarakat, katanya pada masa Persagi. Artinya, seni harus secara aktif dan secara konkret ikut mengubah masyarakat ke dalam keadaan yang lebih baik. Seni harus ikut menyumbangkan kekuatannya untuk menggerakkan masyarakat ke arah tujuan-tujuan sosial yang konkret.[40]

Kondisi ekonomi yang karut-marut, peristiwa-peristiwa kehilangan karya seni serta pandangan ideologis S. Sudjojono yang lekat kepada sosialisme, berjalin berkelindan secara kompleks, sampai kemudian menumbuhkan pemikiran-pemikiran baru dalam dirinya. Pada masa-masa inilah lahir kredonya yang menghebohkan: “kembali ke realisme”. Kredo ini menuai kecamandari Trisno Sumardjo. Pada awal 1950-an, dalam majalah Mimbar Indonesia, mereka berdebat sengit. Arah anjuran S. Sudjojono untuk “kembali ke realisme” sebenarnya iatujukan kepada seniman-seniman medioker yang tidak cukup memiliki keterampilan teknik, tapi mudah mendaku dirinya sebagai seniman.[41]

Tampak bagaimana S.Sudjojono berupaya keluar dari tegangan sosial yang ia alami. Dia pun mengubah beberapa pendiriannya. Pendirian tentang seniman sebagai pribadi yang bebas dari segala bentuk kolektivitas, bebas dari partai, dilepaskan. Ia sendiri kemudian masuk partai politik. Pendirian bahwa seniman tidak boleh merendahkan cita rasanya ke taraf cita rasa publik juga dilepaskan. Menurutnya kemudian, seniman justru harus bertolak dari cita rasa publik agar publik dapat memahaminya: “opname optis” pelukis-pelukis Hindia Belanda yang dulunya ditolak, kemudian diambil alih oleh Sudjojono.[42]

Dari Desa Bogem, S. Sudjojono menetap di Kampung Sagan Wetan. Di dalam rumah berdinding bambu berlantai tanah inilah ia mengembangkan paham real-realism.[43] Real-realism-nya S. Sudjojono ini sekurangnya menghasilkan lukisan Sekko (1948), Potret Tetangga (1950), Mengungsi (1950), dan Di Dalam Kampung (1950).[44] Tiga lukisan terakhir memperlihatkan pencapaian teknik realis yang prima sang pelukis khususnya dalam mencapai detail-detail bentuk, karakter material benda, hingga teknik pencahayaan yang rumit dan berlapis-lapis. Sementara Sekko, kednati tetap dikerjakan dengan pendekatan realis, di sana-sini masih memperlihatkan kecenderungan ekspresif S. Sudjojono seperti masa-masa sebelumnya. Keterampilan tekniknya kembali ia perlihatkan dalam Mencermati Poster (diperkirakan dilukis pada 1956), Mengungsi (1957), Putra Kalimantan (1957), dan Istriku Menjahit (diperkirakan 1956). Memasuki paruh 1950-an, tidak sedikit lukisan-lukisan yang dikerjakan oleh S. Sudjojono dengan pendekatan realissebagai manifestasi kredonya sendiri. Sebenarnya, di kemudian hari pun, sepanjang 1960-1970-an, penggayaan “Realisme S. Sudjojono” ini secara konsisten masih ia lakukan terutama dalam melukis potret dan tema perjuangan.[45]

Dalam catatan Mia Bustam, semenjak 1943, S. Sudjojono dan keluarganya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sampai akhirnya pada 1950 – 1956 mereka menetap di Jogjakarta di Jl. Pakuningratan. Pada fase ini, S. Sudjojono menghasilkan beberapa lukisan: potret istrinya naik andong; potret diri memakai overall hijau tentara yang selalu ia kenakan ketika memahat; lukisan seekor harimau putih berjudul Sri Shima; sebuah lukisan nude dengan model istrinya; dan dua buah lukisan yang belum selesai, yaitu potret tetangga Nyonya Lie dan Di Pinggir Jalan dengan sosok perempuan muda tengah mengamati papan reklame.[46]

Pada dekade 1950-an, dalam rencana pembentukan identitas budaya Indonesia, Pemerintah Soekarno terlihat gencar mempromosikan seni dan kebudayaan Indonesia. Penerbitan majalah-majalah atau buku-buku resmi yang bertemakan perihal tersebut beberapa kali dilakukan. Pada 1951, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kem.P.P.&K.) menerbitkan majalah Pendidikan dan Kebudayaan. Majalah ini memuat tulisan tentang seni: artikel tentang kesusasteraan, seni lukis, dan memuat foto-foto penyair, pengarang dan pelukis serta sejumlah repro lukisan. Dua lukisan S. Sudjojono Di Depan Kelambu Terbuka dan Zaman Gerilya (lebih dikenal dengan judul Sekko)[47] dimuat dalam majalah ini.[48]

Untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan, selang beberapa bulan kemudian Kementerian Penerangan Republik Indonesia (KP-RI) menggelar Pameran Lukisan dan Pahatan di Jakarta yang diikuti lebih dari 40 seniman termasuk S. Sudjojono di dalamnya. Pameran ini menerbitkan brosur kecil yang memuat daftar lukisan dan pahatan (patung) dari masing-masing seniman. S. Sudjojono tampil dengan empat karya lukis: Kembang, Kembang Tunggal, Kaliurang, dan Di Belakang Rumah.[49] Di dalam terbitan lainnya, muncul repro lukisan S. Sudjojono yang jarang kita lihat. Lukisan tanpa tahun berjudul Habis Mandi  ini menggambarkan sosok perempuan dari belakang dengan model Mia Bustam.[50] Lukisan lain yang juga jarang dilihat publik kita jumpai dalam majalah Zaman Baru yang dalam salah satu edisinya memuat sebuah repro lukisan S. Sudjojono.[51]

Majalah Indonesia terbitan April 1951 memuat seluk-beluk seni lukis Indonesia modern. Tak hanya memuat repro lukisan S. Sudjojono, majalah ini menampilkan repro hasil lukisan dan sktesa dari pelukis terkemuka lainnya seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudibio, Nashar, Henk Ngantung, Oesman Effendi, Surono, Syahri, Basuki Resobowo, dan banyak lagi. Majalah ini memuat 2 repro lukisan lama S. Sudjojono, yaitu: Sekko, Sayang Aku Bukan Anjing, dan sebuah karikatur politik bertarikh 1947 berjudul Nyai Loro Blorong, Bukan Dongengan. 

Lalu pada awal 1952, John Heller Gallery di kota New York menggelar pameran “Seni Lukis Modern Indonesia” yang diikuti Emiria Sunassa, S. Sudjojono, Zaini, Affandi, Otto Djaya, Agus Djaya, Hendra Gunawan, dan Sudiardjo. Sebanyak 2 lukisan kanvas Children Playing, Girl Combing Her Hair dan 2 pastel Landscape dan Evening Mealkarya S. Sudjojono dipamerkan.[52]

Masih dalam penelusuran lukisan S. Sudjojono di era 1950-an, untuk memeriahkan Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung, Kem.P.P.&K. kembali menerbitkan buku berjudul: Kesenian Indonesia. Buku bilingual Indonesia-Inggris setebal 167 halaman ini, sebagaimana disebutkan dalam pengantar terbitan, ditujukan untuk memaparkan “perjalanan sejarah beberapa cabang seni agar lebih dikenal di forum Asia-Afrika”. Sampul depan buku ini menampilkan repro lukisan cat minyak S. Sudjojono Setangkai Bunga Kamboja (1954); sementara di halaman isi, selain memuat repro lukisan pelukis-pelukis ternama lainnya, buku ini kembali memuat lukisan Cap Go Meh (1940).[53]

Beberapa tahun setelah Tragedi Politik September 1965, S. Sudjojono jarang menampakkan diri di medan seni. Tiba-tiba ia tampil berpameran tunggal yang segera disambut oleh kalangan seniman. Pameran tunggal perdana S. Sudjojono ini berlangsung pada akhir 1968 hingga awal 1969. Selain memamerkan 46 lukisan, S. Sudjojono turut menampilkan karya-karya keramiknya.[54] Selepas pameran ini, S. Sudjojono bekerja keras agar dapat berpameran tunggal setiap tahun.[55]Kenyataan ini sangat menarik, sebab sepanjang karirnya, sampai akhir 1960-an, S.Sudjojono tidak pernah berpameran tunggal dibandingkan dengan pelukis Affandi atau Kartono Yudhokusumo yang sempat berpameran tunggal di masa Jepang. Persiapan pameran keduanya bahkan dibantu oleh S. Sudjojono. Sekalipun S. Sudjojono hanya terlibat dalam pameran bersama, tidak sedikit pengamat seni yang menilai kehadirannya turut menentukan watak dan mutu pameran.[56]

Debut perdana ini penting dilihat sebagai pameran yang menandai babak baru sang pelukis. Sebagaimana diketahui, semenjak haru-biru politik 1965, stigma komunis yang dilekatkan ke sosok S. Sudjojono membuatnya tidak leluasa berkiprah secara “normal”. Pada 1966, suatu ketika S. Sudjojono pernah diperiksa dan diciduk oleh tentara dari rumahnya. Peristiwa ini akhirnya diselesaikan atas uluran tangan Adam Malik. [57]Oleh karena itu, tiga tahun setelah Peristiwa 1965 adalah masa-masa tiarap bagi S. Sudjojono. Selepas peristiwa “penangkapan” tersebut, Rose Pandanwangi (istrinya) dan S. Sudjojono sendiri semakin berhati-hati menerima tamu dan harus pandai-pandai bergaul dengan orang lain, sebab bisa mengundang resiko yang tidak menyeramkan. S. Sudjojono akan mudah terjebak ke dalam stigma melindungi “pelarian PKI” dari Jogjakarta dan kemungkinan tuduhan lainnya.[58]

Mulai 16 – 26 Juli 1974, di Lembaga Indonesia Amerika, S. Sudjojono berpameran tunggal dengan menampilkan 32 lukisan cat minyak dan sejumlah sketsa. Lukisannya dalam pameran ini antara lain Nude and Nature dan Ratuku.[59] Setahun kemudian di Taman Ismail Marzuki (TIM) S. Sudjojono menampilkan 36 lukisan cat minyak dari pelbagai tahun. Lukisan tertua yang disertakan adalah Rose di Tahun 1956 (1956). Adapun lukisan terbaru dalam pameran ini bertitimangsa 1975 antara lain Perahu-perahu, Anggrek dalam Keranjang, Satu Hari Tanpa Hukum, Gunung-gunung di Jawa Barat, dan Pose. Dalam pameran ini ditampilkan seri sketsa studi lukisan Pertempuran Sultan Agung dan JP Coen (1973-1974) dan sketsa-sketsa hasil lawatan S. Sudjojono di Eropa dan sejumlah daerah di Indonesia sepanjang 1972 – 1974.[60]

S. Sudjojono terbiasa melakukan riset mendalam. Untuk melukiskan Pertempuran Sultan Agung dan JP Coen, misalnya, ia mempelajari sejarah perjuangan Sultan Agung, khususnya melalui buku De Regering van Sultan Agung Vorst van Mataram karangan sejarawan Dr. H.J. De Graaf.  Buku ini memberitakan perihal postur tubuh atletis Sultan Agung; hidungnya yang kecil dan lurus (tidak bengkok); dan warna kulit agak kehitam-hitaman – tidak seperti orang Jawa umumnya. Selain Sultan Agung, S. Sudjojono juga mempelajari sosok J.P. Coen. Gubernur Jenderal ini dikabarkan berambut pendek dan selalu berpakaian rapih. Gambaran sosok Coen diperoleh S. Sudjojono dari gambar-gambar tua dan juga buku-buku sejarah seperti Geschiedenis van Java karangan W.F. Mees.[61] “Melukis sejarah itu tidak mudah. Saya harus banyak membaca buku-buku lama serta dokumentasi lainnya dari beberapa universitas di Belanda,” ungkap S. Sudjojono.

Riset S. Sudjojono untuk menyelesaikan lukisan Sultan Agung menghasilkan puluhan sketsa, dan gambar-gambar yang diberi nomor dan disertai cacatan-catatan kaki di sana-sini. Sedapat mungkin, S. Sudjojono berusaha mendekati kebenaran sejarah. Sikap ini ia perlihatkan dalam menginvestigasi watak tokoh, busana serdadu, ikatan rambut, senjata, ukuran kuda, kapal, tenda-tenda prajurit, lanskap sampai dengan warna gigi manusia di Jawa pada Abad ke-17. Untuk keperluan ini, S. Sudjojono keluar-masuk museum selama lebih dari tiga bulan di Belanda. Semasa itu pula, pada 3-10 Mei 1973, S. Sudjojono mengadakan pameran tunggal di Hotel des Indes, Den Haag.[62] Dia tidak menyia-nyiakan kunjungan ke Belanda itu. Secara khusus, dia bahkan singgah ke Hoorn, kota kelahiran J.P.Coen, di sebelah utara Amsterdam yang merupakan salah satu kota ekonomi yang penting pada zaman VOC (Verenigde Osst Indische Compagnie).

Yang khas dari S. Sudjojono dalam merekonstruksi sejarah adalah kehati-hatiannya dalam melakukan studi bentuk, sosok, benda-benda termasuk raut wajah, ekspresi, dan sebagainya. Sikap ini penting untuk menilai bagaimana S. Sudjojono lebih bekerja berdasarkan “kebenaran”. S. Sudjojono misalnya menulis: “Fakta macam pribadi Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen sendiri, opsir-opsir, menteri-menteri, penasehat raja, pakaian-pakaian dari orang-orang kedua pihak, serdadu Belanda yang terdiri tidak dari orang Belanda saja, tetapi juga terdiri orang Cina, Jepang dan soal-soal kecil yang kelihatannya tidak penting, menjadi problema saya. Saya sebagai pelukis boleh membuat imajinasi dan fantasi semau saya, tetapi 70% harus benar atas dasar historis. Dan 30% yang salah tidak boleh karangan sebab mau memihak, akan tetapi harus disebabkan oleh laporan-laporan dan fakta-faktanya yang tidak lengkap dari kedua belah pihak (Belanda dan kita sendiri). Saya sebagai seorang nasionalis, sadar atau tidak sadar, akan memihak.”[63]

Selama seminggu di bulan Mei 1976, S. Sudjojono kembali berpameran tunggal di Bali Budaya Jakarta. Kali ini ia memamerkan 44 lembar lukisan dan 4 sketsa. Lukisan yang dipamerkan antara lain Parodi, Ibu Adam Malik, Bisikan Maut hingga lukisan bertema religius seperti Tiga Raja Datang, dan Judas.[64] Lalu, di akhir tahun 1976, S. Sudjojono berpartisipasi dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia ke-2dengan menampilkan lukisan berjudul Telepondan Mendung[65] (sampai di sini belum diperoleh keterangan pameran tunggal S. Sudjojono pada tahun berikutnya, 1977).

Selang setahun kemudian, pada awal 1978, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk kali kedua memamerkan pelukis kelahiran Kisaran ini secara tunggal di Taman Ismail Marzuki. Dalam catatan pengantarnya di brosur pameran, Ketua DKJ Ajip Rosidi mengakui bahwa pameran tunggal ini diharapkan mampu menampilkan koleksi lukisan S. Sudjojono secara utuh dari masa ke masa. Akan tetapi, menurutnya, kesulitan besar segera dihadapi mengingat lukisan-lukisan S. Sudjojono telah “tersebar di tempat-tempat yang tidak diketahui”. Oleh karena itu, pameran tunggal 1978 ini hanya menampilkan lukisan-lukisan selama dua tahun terakhir.

Yang tak kalah menarik dalam tulisan pengantar tersebut dikatakan bahwa, “tidak ada kejutan-kejutan baru dalam karyanya”. Penilaian ini, tentu saja, bersifat relatif tergantung dari sudut mana kita melakukan penilaian. Pameran 1978 ini memamerkan 37 lukisan cat minyak dan 8 lembar sketsa. Salah satu lukisan S. Sudjojono yang kemudian terkemuka dalam pameran ini adalah PandanPakai Celana Merah, Rontok, dan Judas &Kristus.[66]

Lukisan Pangeran Diponegoro Menyaksikan Kemenangan muncul dalam pameran tunggal S. Sudjojono pada akhir 1979 di Balai Budaya. Lukisan Diponegoro itu adalah salah satu dari 42 lukisan yang dipamerkan.[67] Seperti pameran tunggal sebelumnya, tak hanya menampilkan tema sejarah dan keseharian, pameran ini juga menyuguhkan tema-tema yang diambil dari kisah pewayangan, semisal Petruk jadi Ratu. Pada tahun ini pula terbit  buku Lukisan-lukisan Koleksi Adam Malik Wakil Presiden Republik Indonesia. Buku setebal 231 halaman ini memuat 19 repro lukisan S. Sudjojono, antara lain: lukisan potret Ibu Nelly Adam Malik (1962), Pohon Tales (1973), dan Jalan di Muka Rumahku (1959).Dua tahun kemudian, pada April 1981, S. Sudjojono kembali memamerkan sebanyak 50 lukisan di Gedung Kebudayaan Jepang, Jakarta.[68]Pada bulan Desembernya, bersama Ahmad Sadali, Oesman Effendi, Srihadi, O.H. Supono, dan Fadjar Sidik, S. Sudjojono berpameran di TIM-Jakarta. Dalam pameran ini ia mengirimkan 6 lukisan: Suatu Pemandangan dekat London, Macan, Bis Kota, Anak-anakan, Gunung Ungaran, dan Di Alam bebas.[69]

Memasuki paruh 1980-an, S. Sudjojono menggelar pameran dengan murid-muridnya[70]dari Sanggar Pandanwangi[71]. Pameran yang dibuka oleh Adam Malik ini berlangsung di Balai Budaya Jakarta. Dalam pameran ini, dari 10 lukisannya, S. Sudjojono di antaranya menampilkan Perahu Madura dan Kesibukan Perahu-perahu Layar.[72] Bertempat di Taman Ismail Marzuki, pada pertengahan September 1981, S. Sudjojono ikut serta dalam Pameran Pelukis Sanggar Taman Siswa.[73]

Pada  Januari 1982 S. Sudjojono memamerkan 45 lukisan dan beberapa sketsa di Balai Budaya. Komitmen dan konsistensi S. Sudjojono untuk senantiasa berpameran setiap tahun agaknya benar-benar dijalani. Tak hanya berhasil menawarkan aneka ide segar dalam seni lukis, S. Sudjojono membuktikan kejeliannya dalam merekam realitas masyarakat Indonesia. Di usia 70 tahun, S. Sudjojono masih terlihat bersemangat menjelajahi kanvas besar dan cakap dalam menerapkan “realisme”- nya yang sangat terkenal. Pada awal 1984 ia kembali berpameren tunggal di Balai Budaya Jakarta. Lukisan Janur Kuning, Jaipongan, Alangkah Indah Tanah Airku, Kura-kura, Daerah Gersang, dan Sia-siakah antara lain termasuk ke dalam materi lukisan yang dipamerkan.[74]

Tahun 1985 kembali diisi S. Sudjojono dengan pameran. Kali ini dia berduet dengan pelukis Jeihan. Digelar di Hotel Sari Pasific, pameran ini menampilkan karya-karya terbaik dari kedua pelukis. Jeihan yang dikenal bergaya figuratif dengan sosok-sosk manusia pipih dan bermata bolong; sementara S. Sudjojono dengan “realisme”-nya. Semenjak pameran ini dipersiapkan, aroma “persaingan” antar mereka sudah mulai dirasakan.[75] Selama pameran berlangsung, tak ketinggalan media massa ikut memanaskan. Keduanya selalu diperbandingkan.[76] Pameran yang dibuka oleh Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) Achmad Tahir ini merupakan pameran yang paling menuai sambutan hangat di khalayak.

Hari Selasa, 25 Maret 1986, S. Sudjojono - pelukis berjuluk Sang Jiwa Besar- wafat dalam usia 73 tahun akibat kanker paru-paru dan luka usus. Semenjak pertengahan Agustus 1985, beberapa saat setelah pembukaan pamerannya dengan Jeihan, tekanan darahnya cenderung tidak stabil dan jauh di atas normal hingga mencapai 240. Meskipun kondisi tubuhnya merosot, dalam beberapa bulan di kwartal terakhir tahun 1985, orang masih melihat S. Sudjojono menghadiri sejumlah acara. Namun, menjelang pertengahan Desember 1985 hingga memasuki awal 1986, S. Sudjojono dilaporkan masuk rumah sakit. Dia pun wafat setelah menjalani serangkaian operasi.

Pada 1986, memperingati lima bulan setelah wafatnya, sebanyak 109 lukisan S. Sudjojono dipajang di ruang Duta Fine Arts Gallery. Lukisan yang tertua bertarikh 1937, dan yang termuda, tidak sempat selesai, dibuat tahun 1986. Sanento Yuliman mencatat sejumlah karya yang dipamerkan saat itu, di antaranya: Potret Pertama Istri Saya, Pak Wakijo Pemahat, dan Pemandangan Desa (1956); Orang-orang Berlalu (1967), Maya Sweet Seventeen (1983), Parodi (1974), Ulah Raja Berana (1982), Sesudah Restorasi (1984), Pelawak (1975), Zaman Emas (1971),  Perkelahian di Udara (1972), Perjalanan Masih Jauh (1975), Mboyong Putri (1980), Ramai-ramai Masuk Surga (1985), dan Ibu Nonton TV – yang judulnya diberikan S.Sudjojono sebagai Mevrouw Seneng Ketawa, Nurce Juga Ketawa-Nonton TV (1978).[77]

Sampai di sini, kita setidaknya bisa menghitung. Melalui kronik pameran semenjak Persagi hingga wafatnya ditambah dengan data tambahan dari arsip Claire Holt yang menyimpan satu lukisan S. Sudjojono yang jarang dilihat publik[78], S. Sudjojono telah mengerjakan tidak lebih dari 500 (sekitar 455 lembar lukisan)berbagai ukuran. Selisih hitungan ini memiliki perbedaan tak kurang dari 100 lukisan dengan data yang disimpan oleh S. Sudjojono Center  - yang mencatat 373 lembar lukisan.[79]


Analisa Lukisan dan Kejanggalan-kejanggalan Lukisan S. Sudjojono

Menganalisa sebuah lukisan memerlukan pengamatan yang rinci dengan dibantu metode kritik seni. Menurut Edmund Burke Feldman – yang sering dijadikan panduan dalam praktik kritik – sebuah kritik seni mencakup: deskripsi, analisa formal, interpretasi dan evaluasi[80]. Untuk kebutuhan kita di sini, analisa formalperlu diperhatikan sebab mencakup sejumlah halsebagai berikut: (1). Rekaman detail lukisan mencakup: nama, judul, titimangsa, ukuran, medium, periode gaya; (2). Tema dan subjek lukisan mencakup: deskripsi subjek, aspek ikonografi, penjelasan tema, pencatatan latar belakang lukisan; representasional/non-representasional; (3). Komposisi lukisan mencakup: simetri/asimetri, stabil/tidak stabil, efek yang disebabkan akibatnya; (4). Ruang/ kedalaman yang berkaitan dengan ilusi yang diciptakan oleh lukisan mencakup: linear perspective, aerial/atmospheric perspective, penumpukkan antar obyek (overlapping of objects), sensibilitas jarak yang terbangun antar obyek, efek-efek ruang, ilusi yang terjadi; (5). Penggunaan warna yang mencakup: warna utama (main color), kesan warna (lembut, hangat, dan sebagainya), spektrum warna yang digunakan, efek warna yang dihasilkan; (6). Penggunaan cahaya mencakup: arah datangnya cahaya, kontras antara bayangan dan cahaya (chiaroscuro/even lighting), cahaya yang menghasilkan suasana hati atau mood tertentu (atmospheric light); (7). Bentuk dan efek seperti: statis atau bergerak, garis bentuk (outline), teknik membentuk 3 bentuk dimensional (tonal modelling); (8). Teknik yang berkaitan tebal/tipisnya cat dan juga bertalian dengan efek/tekstur yang sesuai bentuk: batu, kayu, daun, kain, dan sebagainya; dan (9).Kaitan lukisan dengan konteks. Di sini diperlukan riset dan pengetahuan tentang gaya/corak lukisan sang pelukis yang dikaitkan dengan aspek: sosial, sejarah, ideologi, geografi dan nilai artistik yang seusia dengan gaya/corak personal maupun konteks zaman yang dialami oleh pelukis. Catatan yang perlu diberikan dalam hal ini adalah bahwa tema, gaya/corak terkadang sangat tergantung dari permintaan (commission work).

Dari zaman ke zaman, secara sederhana, lukisan-lukisan S. Sudjojono terbagi ke dalam subject matter/tema/idiom sebagai berikut: “potret diri”, “pemandangan alam”, “keseharian/figur anggota keluarga/masyarakat”, “alegori”, “religi”, “dunia pewayangan”, “alam benda”, “fantasi”, “revolusi”, dan “nostalgia/kenangan revolusi”. Dalam satu lukisan, tema/idiom tersebut terkadang bercampur-campur, tidak berdiri secara tunggal.Lukisan berjudul Rontok (1978), misalnya, bisa digolongkan ke dalam kelompok “alegori” sekaligus memanfaatkan idiom “dunia pewayangan”. LukisanJanur Kuning (1983) yang juga menghadirkan “potret diri S. Sudjojono” termasuk ke dalam kelompok lukisan bertema “nostalgia revolusi”. Sementara Sekko (1948) tergolong lukisan bertema “revolusi”. Dari segi penggayaan (style), lukisan-lukisan S. Sudjojono terbagi ke dalam dua kelompok: “realistik”, dan “ekspresif”. Lukisan Sayang Kita bukan Anjing (1943) atau Di Depan Kelambu Terbuka (1939), misalnya, bergaya ekspresif.

Selain itu, perlu diperhatikan tentang kecenderungan gaya “abstraksi” dalam lukisan S. Sudjojono. Gejalanya secara eksplisit sudah mengemuka semenjak masa-masa Persagi. Kritikus Sanento Yuliman menengarai hal ini: “Perkembangan seni lukis Indonesia sejak Persagi telah mempersiapkan ide-ide dan sensibilitas – mempersiapkan iklim – bagi timbulnya sejumlah lukisan abstrak. Ide tentang lukisan sebagai bidang ekspresif yang otonom telah melahirkan segala macam distorsi, deformasi dan abstraksi  dalam kanvas-kanvas para pelukis kita sejak Persagi.” Tak hanya itu, juga penting memahami implementasi “jiwa tampak” dalam konsepsi S. Sudjojono. Mencermati “sapuan kuas S. Sudjojono” sangat ditekankan oleh Sanento Yuliman. Menurutnya, pandangan S. Sudjojono tentang “jiwa tampak” juga bisa berarti bahwa lukisan di pandang bukan sebagai salinan dari apa yang tampak di luar, melainkan sebagai penampakkan apa yang tersembunyi di dalam jiwa. Elemen-elemen lukisan – garis, warna, sapuan kuas dan sebagainya – dipandang bukan sebagai alat-alat untuk membuat gambaran fotografis batau membuat opname optis dari pada alam di luar, melainkan sebagai alat-alat ekspresif, yakni sebagai alat pengungkap dan penggugah rasa. Jiwa pelukis yang harus nampak terungkap bukan pada kebebasan cerita yang diilustrasikan, melainkan padasapuan kuas.[81] Lukisan Istriku Menjahit (1956)[82] menampakkan “sapuan kuas jiwa tampak” yang dimaksud. Lukisan ini juga memperlihatkan gejala “abstraksi” dalam kanvas S. Sudjojono. Dengan demikian, hubungan antara “tema” dan “gaya”, dalam menganalisa lukisan-lukisan S. Sudjojono,  harus dilihat sebagai satu kesatuan.

Hal lain yang penting untuk diketahui bahwa S. Sudjojono adalah pelukis yang mematuhi tata aturan berbahasa yang diresmikan oleh Pemerintah. Fakta ini kita temukan dalam cara dia menuliskan perbedaan “ejaan bahasa Indonesia ” dari waktu ke waktu. Perhatikan bagaimana ia terlihat masih menggunakan Ejaan van Ophuysen ketika menulis “oe” untuk “u” lukisan Kawan-kawan Revolusi (1947). Sebagaimana diketahui bahwa pada Maret 1947, Ejaan van Ophuijsen diganti dengan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Tulisan tangan dalam lukisan-lukisan S. Sudjojono yang dikerjakan setelah masa ini dilakukan menuruti Ejaan Soewandi. Bukti perbuahan ini bisa kita temukan dalam tulisan-tulisan tangan di lukisanS. Sudjojono dekade 1950 sampai awal 1970. Ejaan Soewandi diganti dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada Maret 1972. Sejak itu, S. Sudjojono merubah cara menulis keterangan tempat, misalnya “Djak”, menjadi “Jak”.

Kini kita masuki permasalahan yang ingin disasar oleh tulisan ini, yaitu menganalisa kejanggalan lukisan-lukisan S. Sudjojono yang dipamerkan untuk umum dalam rangka peresmian Museum OHD.

Bahan utama analisa ini, selain kesaksian penulis sendiri ketika melihat dan mencermati langsung lukisan-lukisan S, Sudjojono dalam acara peresmian tersebut, adalah buku Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia: Affandi | S. Sudjojono | Hendra Gunawan | Widayat | Soedibio yang diterbitkan Museum OHD 2012. Dari buku setebal 278 halaman itu, lukisan S. Sudjojono yang dicurigai sebagai lukisan yang bukan dilukis oleh sang pelukis, antara lain: Perdjuangan Belum Selesai (1967, hal. 59), Wajah-wajah Pejoeang (1947, hal.67), Suatu Kejadian Mengalihkan Perhatian (1953, hal. 69), Persiapan Serangan Malam (1956, hal.75), Sang Besar (1964, hal.77), Pangeran Diponegoro (1960, hal.78), Di Antara Dua Bukit (1952, hal. 92), Pekarangan Rumah (1950. hal.65), dan Bola Waktu (1955, hal. 95). Sejumlah sketsa yang dimuat dalam buku ini juga layak dicurigai mengingat ditemukannya sejumlah kejanggalan formal – terutama pada “tema, corak, karakter tulisan tangan; tandatangan S. Sudjono; dan titimangsa pembuatan” bila dibandingkan dengan karakter sketsa asli S. Sudjojono. Namun demikian, prioritas pembahasan di sini akan lebih terfokus pada lukisannya saja.

Dasar kecurigaan yang pertam-tama segera muncul di kepala kita berkaitan dengan tidak adanya catatan yang bisa membuktikan keberadaan lukisan-lukisanyang tersebut di atas - yang kini dipajang sebagai koleksi Museum OHD.Menurut anak-anak S. Sudjojono dari Mia Bustam, lukisan-lukisan itu belum pernah disaksikan oleh mata kepala mereka sendiri, khususnya lukisan yang bertarikh 1950-an, sebab pada masa-masa ini S. Sudjojono masih berkumpul dengan mereka. Di lain pihak, judul-judul lukisan itu pun tidak ditemukan dalam catatan sejarah, baik yang bersumber dari majalah-majalah, brosur pameran, maupun laporan-laporan pameran di suratkabar yang berkaitan dengan S. Sudjojono.

Lukisan Perdjuangan Belum Selesai (1967), misalnya, tidak tercatat sebagai salah satu lukisan yang dipamerkan dalam pameran tunggal pertama S. Sudjojono pada 1968. Hal ini bisa dimengerti, sebab taruhlah lukisan tersebut memang dibuat oleh S. Sudjojono  - yang memperlihatkan simbol-simbol PKI – seyogyanya S. Sudjojono sendiri tidak akan berani memamerkannya. Akan tetapi, seandainya alasan tentang hal ini dikemukakan dengan menimbang bahwa bisa saja lukisan Perdjuangan Belum Selesaiini (dan lukisan lainnya) telah menjadi koleksi orang (atau dikerjakan berdasarkan pesanan dan tersimpan lama di rumah kolektor), kenyataan ini sesungguhnya sangat tidak lazim.Sebagaimana diketahui bahwa S. Sudjojono seringkali meminjam lukisan dari para kolektornya untuk melengkapi materi pameran.

Dicermati dari tahunnya, lukisan Perdjuangan Belum Selesai adalah lukisan semasa dengan lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66 (1966) yang dilukis S. Sudjojono sebagai manifestasi simpatinya pada kaum pemuda dan pelajar yang melakukan demonstrasi besar-besaran terhadap Pemerintahan Soekarno setelah Peristiwa Politik 1965. Lukisan dengan teknik realis ini menggambarkan seorang pemuda yang berdiri di tengah dengan latar belakang Jalan Thamrin di lihat dari dari arah Utara. Sayup-sayup kita bisa melihat Patung Selamat Datang di kejauhan dan awan yang bergulung-gulung di langit. Kita bisa bandingkan bagaimana kesesuaian latar Jalan Thamrin yang dilukiskan S. Sudjojono ini dengan dokumen foto pada tahun yang sama guna membuktikan bagaimana kesetiaan pelukis ini dalam mengolah realitas.

Perhatikan sekaleng cat di tangan kiri sang pemuda; sementara tangan kanannya memegang kuas. Mengenakan jas merah sehingga menutupi kemeja berwarna powder blue, pemuda berkulit kecoklatan ini digambarkan bertopi. Bandingkan kesesuaian topi yang dikenakan oleh pemuda ini dengan foto arsip pada tahun yang sama ketika kaum muda dan mahasiswa berdemonstrasi. Sehelai handuk kecil terlipat tampak bertengger di pundaknya. Celana pada kaki kanannya diperlihatkan terlipat di atas mata kaki. Terhadap lukisan ini, kita bisa menyaksikan kemahiran teknik S. Sudjojono dalam melukis realis - bagaimana lipatan kemeja, celana panjang, dan jaket. Sinar mata sang pemuda digambarkan menatap tajam ke depan. Guna memperkuat karakter pemuda, S. Sudjojono menggunakan model - seorang mahasiswa dari perguruan tinggi di Jakarta - untuk pengerjaan lukisan ini.[83]

Seperti lukisan-lukisannya yang lain, dalam lukisan ini S. Sudjojono memanfaatkan teknik yang disebut sebagai atmospheric perspective: sebuah teknik untuk memberi kesan ruang dengan cara mengurangi ukuran, detail, kontras, meringankan bobot bentuk, menetralkan warna, dan mengaburkan detail pada bagian tertentu. Perspektif ini berkaitan pula dengan bagaimana tampilan sebuah obyek dipengaruhi oleh ruang atau udara.Pendekatan ini lazim dimanfaatkan pelukis-pelukis Tiongkok kuno. Sementara itu, linear perspectiveyang menonjol di dunia Barat lebih memanfaatkan garis dan titik hilang. Ilusi akan kedalaman dibangun akibat perbedaan skala obyek dengan jarak.[84] Lukisan Perdjuangan Belum Selesai memperlihatkan kualitas piktorial yang berbeda dengan Maka Lahirlah Angkatan ’66mencolok tajam.

Mari kita cermati kesan yang ingin dibangun oleh lukisan ini akibat catatan yang tertera di bawah kanan lukisan. Lukisan ini seakan-akan dikerjakan S. Sudjojono setelah melawat ke Jogjakarta dengan kalimat yang tertera pada lukisan sebagai berikut:

Perjuangan Belum Selesai!
Djalan masih pandjang menudju Gerbang Kemerdekaan
(Djogdjakarta, disebuah rumah di Bantul)

Tak hanya itu, tertulis dalam buku Lima Maestro, lukisan tersebut ingin dikesankan sebagai bentuk “simpati S. Sudjojono pada komunisme”: “Sebuah lukisan bergaya realisme sosial yang berbau ideologi komunis adalah Perdjuangan Belum Selesai...Palu dan arit yang terlihat dalam lukisan ini bila digabungkan sebagai satu kesatuan menjadi simbol PKI (Partai Komunis Indonesia).”[85]

Bila kita perhatikan tahun pengerjaannya, 1967,maka itu sebenarnya adalah masa yang tidak masuk akal bagi seorang S. Sudjojono melawat ke “kota Jogjakarta”, apalagi secara spesifik disebut-sebut singgah ke kawasan Bantul. Semenjak Peristiwa Politik 1965, pelukis ini menahan diri untuk tidak muncul ke hadapankhalayak dan lebih meluangkan waktu untuk menemani keluarganya di Jakarta. Argumentasi kedua adalah berkenaan dengan stigma komunis yang melekat dalam diri S. Sudjojono pasca Peristiwa 1965 sebagaimana yang telah dibahas di atas. Stigma mengerikan ini, tentu saja, bukanlah persoalan yang sepele. Cap komunis, khususnya pada tahun-tahun ini, merupakan masalah serius bagi siapa saja. Tak seorangpun, pada masa-masa ini yang ingin dikenakan cap PKI. Oleh karena itu, mustahil bagi seorang S. Sudjojono berlaku naif dengan melukiskan suatu karya yang vulgar apalagi sengaja menjuruskan dirinya sebagai seorang “simpatisan PKI” – dan ini bertentangan secara diametral dengan “simpati politiknya” terhadap gerakan kamu muda dan pelajar dalam lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66.

Menyusul pernikahannya dengan Rose Pandawangi pada 1959, S. Sudjojono secara resmi tidak terlibat dengan Lekra maupun PKI. Tak hanya menerima cemooh dari kawan-kawannya di Lekra, nyawa S. Sudjojono terancam andaikata partai berhaluan komunis ini berhasil memimpin Indonesia. Maka, kalau di kritisi dari arah yang lain, lukisan Perdjuangan Belum Selesaisesungguhnya merupakan bentuk fitnah yang keji terhadap pribadi S. Sudjojono dengan menempatkan kembali pelukis ini ke dalam stigma Lekra dan PKI.

Perdjuangan Belum Selesai menggambarkan sekelompok orang di puing bangunan. Salah satunya tengah melukis tentang gerombolan petani dan pekerja dalam keadaan berteriak. Seorang petani diperlihatkan mengacungkan arit. Lukisan dalam lukisan itu dikerjakan dengan teknik potret yang rendah. Perhatikan mimik, raut, dan gestur dari seluruh wajah petani dan perkeja di situ yang hampir semuanya sama. Pada detail, misalnya bagian mulut, hidung dan mata, antarfigur satu sama lain tidak mengalami perbedaan. Sembari melihat deretan figur di sana, kita mestinya segera mengingat bahwa kemampuan tekni melukis S. Sudjojono jauh lebih baik dari yang diperlihatkan dalam lukisan itu.

Secara ikonografis, bentuk kaleng cat, karakter pemuda berjaket, celana tergulung pada figur yang berdiri membelakangi pemirsa dalam lukisan Perdjuangan Belum Selesaidikutip dari Maka Lahirlah Angkatan ’66.Adapun puing/reruntuhan bangunan, adegan, dan komposisinya mengingatkan kita pada lukisan realis S. Sudjojono Ngaso (1964) dan Persiapan Gerilya (1964).

Pewarnaankulit tubuh setiap figur dalam Perdjuangan Belum Selesai memanfaatkan perpaduan warna vermilion (dari rumpun warna merah), mahogany, burnt umber (rumpun warna coklat), dan coral (rumpun warna jingga).Sementara lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66– dan sebagaimana lukisan-lukisan S. Sudjojono yang berteknik realis lainnya – warna kulit memanfaatkan paduan warna matang yang diturunkan dari rumpun coklat dan kuning, misalnya warna sepia, ecru, camel (rumpun warna coklat) dan vanilla, cream, apricot (rumpun warna kuning). Dalam setiap lukisan realisnya, warna kulit figur dalam lukisan S. Sudjojono menghampiri otentisitas warna kulit orang Indonesia – atau sekurang-kurangnya mendekati warna kulit model yang berpose untuknya.

Tentu saja rumpun warna coklat dan kuning ini bisa kita jumpai dalam lukisan koleksi Museum OHD lainnya seperti Wajah-wajah Pejoeang, Suatu Kejadian Mengalihkan Perhatian, Persiapan Serangan Malam, Sang Besar, dan Pangeran Diponegoro -yang kita curigai palsu. Hanya saja, di situ kita bisa membandingkan aspek yang berhubungan dengan “arah datangnya cahaya”maupun “kontras antara bayangan dan cahaya (chiaroscuro/even lighting)” antara lukisan koleksi OHD tersebut dengan konsistensi S. Sudjojono dalam mengolah warna kulit seperti Ngaso (1964), Maka Lahirlah Angkatan ’66 (1966), Tetangga (1950), Mengungsi (1952), Ibu Nelly Adam Malik (1962), Istriku/Rose Pandanwangi(1959), Istriku Menjahit (1956). Dari situ kita temukan perbedaan mencolok bagaimana spektrum rumpun warna coklat dan kuning digunakan.

Sosok yang berpose jongkok sembari memegang palu dan mata cangkul dalam lukisan Perdjuangan Belum Selesai dilukiskan mengenakan baju berwarna navy blue (rumpun warna biru) yang langsung, mentah dan kurang diolah.Teknik mengambil warna langsung dari tube ini jarang dilakukan S. Sudjojono. Dia biasanya mengolah terlebih dahulu dengan turunan warna biru lainnya. Begitupula penggunaan warna biru pada langit di bagian latar yang relatif sama dan senada dengan warna biru yang kita temukan dalam “kanvas” yang bergambarkan gerombolan petani dan buruh.Dalam hal ini, kita bisa bandingkan pula teknik S. Sudjojono dalam melukis langit di lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66, atau lukisannya yang lain pada masa-masa ini seperti Alangkah Indah Tanah Airku (1966), Gerilya (1968), dan Rose Mencuci (1960) yang menampilkan spektrum warna biru yang lebih kaya, dinamis, dan atmospheric.

Dalam lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66, kita merasakan harmoni warna biru terang seperti sky blue, columbia blue, dan baby blue. Kesan terang ini memperkuat aspek atmospheric perspectives – yang kita rasakan gagal dicapai dalam Perdjuangan Belum Selesaiyang cenderung datar. Paduan antar warnadalam lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66 mampu membangun suasana siang yang terik; ruang kota yang berlapis-lapis. Sebaliknya, dalam Perdjuangan Belum Selesai, kita segera bisa merasakan miskinnya aspek atmospheric perspectives. Bentuk pepohonan pada latar lukisan ini dikerjakan dengan intensi memamerkan “detail” dan memperlihatkan “efek dekoratif”, alih-alih “efek realistik”. Padahal, setiap kali menggambarkan latar sebuah lukisan, S. Sudjojono selalu memperlihatkan sapuan kuasnya yang khas sehingga memberi kita pengertian bahwa lukisan-lukisannya dikerjakan dalam interval “estetika: realisme – impresionisme - ekspresionisme”.

Seperti yang telah dikutip, lukisan Perdjuangan Belum Selesai memuat tulisan tangan S. Sudjojono. Tulisan tangan dalam lukisan ini cenderung “runcing” dibandingkan dengan tulisan tangan S. Sudjojono yang lebih “dempak/bulat/melengkung”. Dalam kasus inibolehlahkita bandingkan “tipografi” S. Sudjojono berkenaan dengan caranya menuliskan huruf kapital “P”, “D”, dan “K”. Penempatan dan tata kalimat berupa barisan catatan di lukisan Perdjuangan Belum Selesaimembangun kesan formal, intensional/sengaja, kaku, pretensius, sekaligus juganaif. Hal ini berbeda dengan gaya kalimat khas S. Sudjojono yang puitik, natural,akrab-bersahaja, jenaka, tetapi juga pekat dengan nuansa dan metafora. Karena itulah kemudian tulisan-tulisannya selalu menarik untuk disimak. Sementara dalam hal penempatan tulisannya, S. Sudjojono lebih berlaku “sembarangan”.

Perbandingan lain atas kualitas teknik dan estetik lukisan Perdjuangan Belum Selesai bisa kita lakukan dengan lukisan S. Sudjojono Aku Cinta Padamu, Tanah Airku (1966).

Suasana temaram senja ini juga ingin dikesankan oleh lukisan Persiapan Serangan Malam (1956) yang menjadi koleksi Museum OHD. Namun, seperti lukisan lainnya, selain tidak memiliki catatan historis[86], lagi-lagi Persiapan Serangan Malam ini segera memperlihatkan kelemahan yang saru bila dianalisis dari aspek formal. Gambar tubuh pada sosok yang mengepalbambu runcing, misalnya, menunjukkan penguasaan anatomi yang lemah, kaku dan gestur figur yang canggung.Bandingkan pencapaian artistiknya dengan lukisan S. Sudjojono Alangkah Indahnya Tanah Airku (1966).

Kita akan tinjau kejanggalan otentisitas Persiapan Serangan Malam ini dari arah biografi seniman.

Tahun 1956 adalah tahun ketika S. Sudjojono menjalani kesibukan barunya sebagai anggota DPR di Jakarta dan ia dikabarkan mulai terlibat asmara dengan Rose Pandanwangi. Produktivitasnya sebagai pelukis, pada tahun itu,cukup menurun. Dengan status barunya ini, S. Sudjojono tak jarang menempuh perjalanan Jakarta-Jogjakarta untuk bertemu keluarganya. Dalam memoarnya, Mia Bustam mengatakan bahwa pada masa-masa ini S. Sudjojono sempat menghasilkan beberapa lukisan: potret istrinya yangsedang naik andong, potret diri dengan mengenakan baju overall hijau, seekor harimau putih dengan judul Sri Shima (nama putrinya yang ke-tujuh), dan lukisan model nude istrinya. Selain itu terdapat dua lukisan yang tidak selesai karena ditinggal di Jakarta. Lukisan-lukisan itu potret Nyonya Lie dan sosok perempuan muda yang sedang mengamati sebuah poster papan reklame film Barat. Meskipun belum selesai, lukisan terakhir ini dan juga lukisan nudekemudian dibeli oleh kolektor asal Surabaya Oey Boen Po.[87]Belakangan Oei Hong Djien mengakui bahwa ia memperoleh lukisan yang kemudian dikenal dengan judul Perusing a Poster dari Oey Boen Po yang membelinya dari Mia Bustam.[88] Itu adalah lukisan dengan kualitas teknik realis yang sangat kuat, namun belum selesai dan bahkan belum ditandatangani S. Sudjojono. Orang-orang yang menjadi model dalam lukisan itu bisa dikenali.[89] Menimbang kesamaan tarikh pembuatan, bukankah kualitas Persiapan Serangan Malam berbeda secara mencolok dengan Perusing a Poster?

Baik Perusing a Poster,maupun lukisan Persiapan Serangan Malam yang kita bahas di sini, keduanya dikerjakan di tengah kesibukan S. Sudjojono tatkala menjadi anggota DPR. Melihat kode tempat di tandatangannya (tertulis “Djak”), Persiapan Serangan Malam dikerjakan atau diselesaikan di Jakarta. Apabila kita bandingkan ukuran Perusing a Poster (109x140) yang konon “gagal” diselesaikan oleh S. Sudjojono dengan Persiapan Serangan Malam (135x253) yang “lebih besar” dan “lebih selesai”, kenyataan ini cukup tidak masuk akal. Apalagi perbedaan teknik dan estetika antar keduanya sangat drastis. Pengerjaan lukisan Persiapan Serangan Malam dengan ukuran kanvas sebesar itutentunya memerlukan ruang yang besar. Sementara pada awal menjadi anggota DPR di Jakarta, S. Sudjojono dikabarkan menetap di asrama putra berukuran kecil.[90]

Memang tidak semua lukisan dibubuhi catatan tangan oleh S. Sudjojono dan tak ada dua lukisan yang identik dalam kasus ini – sekalipun temanya sama. Tetapi, sepertihalnya Perdjuangan Belum Selesai,  lukisan Persiapan Serangan Malam memiliki kemiripan dalam hal “letak catatan” tersebut: di kiri dan di tengah bawah. Perhatikan pula posisinya yang seakan disengaja (intensional) agar terbaca. Sementara, di lain pihak, S. Sudjojono seringkali (kalau tidak bisa dikatakan “selalu”) menempatkan catatan sesuka hatinya dan bahkan berani “mengganggu komposisi lukisan”. Kadangkala catatannya di lukisan tidak ingin terbaca oleh orang.

Lukisan Pangeran Diponegoro (1960) dalam koleksi Museum OHD dan dimuat dalam buku Lima Maestro memperlihatkan suasana di sebuah lokasi – seperti pedesaan dengan perspektif mata burung. Tampak kerumunan orang. Dua orang yang mengenakan sorban di kepala menjadi sentral tema lukisan ini. Salah satunya adalah Pangeran Diponegoro. Di depannya tampak beberapa pengawal: salah seorang memegang bambu runcing; yang berjalan paling depan tampak bersiaga dengan senapan dengan ujung bayonet; salah seorang lagi mengenggam keris; dan dibelakangnya memegang tombak. Empat pengawal itu memegang “empat jenis senjata”. Dua ekor kuda putih dan hitam tampak di belakang. Sekujur lukisan ini sarat dengan kelemahan anatomi, baik pada hewandan manusianya.

Lukisan bertema serupa pernah dikerjakan S. Sudjojono pada 1979 dengan judul Diponegoroatau Pangeran Diponegoro Menyaksikan Kemenangan[91]. Berbeda dengan versi Museum OHD, lukisan S. Sudjojono ini tercatat dalam pameran tunggalnya pada akhir 1979 dan dibahas oleh sejumlah penulis dalam suratkabar. Kita bisa segera melakukan perbandingan dengan mencermati versi mana yang lebih berhasil dalam membangun kompleksitas suasana/adegan peran?Perhatikanpula detail-detail perbedaan dalam teknik menggambar anatomi benda, tumbuhan, hewan dan manusia. Sudut pandang lukisan Diponegoro versi 1979 yang dilakukan dari arah bawah berhasil membangun kesan agung dan gagah; sementara versi 1960 dengan “mata burung” berlaku sebaliknya. Secara gamblang versi 1979 initak hanya berhasil memperlihatkan kecermatan sang pelukis dalam merekam “otentisitas sejarah” ketimbang versi 1960, tetapi juga sanggup merefleksikan keberpihakan sang pelukis pada perjuangan Diponegoro.

Lukisan koleksi Museum OHD lainnya Suatu Kejadian Mengalihkan Perhatian (1953) secara terang-terangan menyerupai Perusing a Poster – yang juga menjadi koleksi museum. Kita bisa langsung membandingkan teknik dalam melukis anatomi figur yang mengenakan kemeja putih berlengan pendek yang diambil dari arah kiri belakang dalamSuatu Kejadian Mengalihkan Perhatian dengan pose figur yang sama dari Perusing a Poster.[92] Perhatikan pula detail pada bagian mata dari sejumlah figur, proporsi panjang tangan dan tubuh. Penting untuk menegaskan kode tempat yang tertulis dalam lukisan Suatu Kejadian Mengalihkan Perhatianini, “Djak” – yang berarti dikerjakan/diselesaikan di Jakarta – atau “Djok” – yang berarti diselesaikan di Jogjakarta. Sebagaimana diketahui, pada tahun tersebut (1953), S. Sudjojono dan keluarganya menetap di Jl. Pakunigratan No.40 Jogjakarta.[93]

Koleksi Museum OHD lainnya adalah Bola Waktu (1955) yang lagi-lagi berukuran cukup besar (140x220). Puing-puing tampak berserakan di hamparan tanah kering dan tandus. Seseorang bercelana hijau di tengah lukisan seakan-akanmelintas di kejauhan. Sebuah tonggak besar menjulang. Puncak dan beberapa bagiannya terkelupas. Sebuah bola merah - yang tidak terlampau jelas apakah terbuat dari batu atau logam – dijadikan metafora utama dalam lukisan ini. Lalu di sebelah bawah, seorang anak tergeletak, entah mati atau terluka.Dilihat dari tahunnya, lukisan ini berarti dikerjakan pada masa pemilihan umum pertama Indonesia (1955). Ketika itu S. Sudjojono dan keluarganya berada di kota Jogjakarta. Sebagaimana diketahui, sebagai salah seorang calon anggota legislatif, pada masa-masa ini S. Sudjojono disibukkan dengan berkampanye sehubungan dengan pencalonan dirinya sebagai anggota parlemen. Karena itu, pada masa ini dia tidak cukup produktif melukis.

Investigasi historis dan studi komparasi seperti yang telah dilakukan di atas bisa kita terapkan untuk menganalisis kejanggalan-kejanggalan koleksi Museum OHD lainnya yang tertera dalam buku Lima Maestro, seperti lukisan: Di Antara Dua Bukit, Pemandangan, dan juga sejumlah sketsa seperti Karnaval (1972, hal. 98), Pak No Kutu Buku (1976, hal.100), Sedang Tidur (1961, hal.101), Pendopo dalam Kepatihan (1967, hal.103), dan Buto Tjakil Melawan Ardjuna dan Punakawan (hal. 102).


Penutup

Dari hasil-hasil analisa di atas, tersimpulkan bahwa lukisan-lukisan palsu S. Sudjojono dalam koleksi Museum OHD dilakukan bukan dengan cara menjiplaknya mentah-mentah - sehingga menghasilkan kembaran dari lukisan aslinya. Alih-alih, segelintir oknum pelukis ini memproduksi fraudulent painting -  “lukisan-lukisan baru” yang ditandatangani atas nama S. Sudjojonodengan cara mengutip/mendompleng/memboncengi komposisi, bentuk, garis, gestural, raut figur, warna, sapuan kuas, tandatangan, dan tulisan tangan S. Sudjojono (aspek formal). Para pemalsu ini pun dengan cerdik menyesuaikan lukisan-lukisan tersebut dengan tema-tema yang telah lama menjadi karakter S. Sudjojono (aspek non-formal). Titimangsa pembuatan lukisan yang dipilih oleh para pemalsu ini juga menandakan bahwa mereka cukup jeli.

Lukisan-lukisan yang mengatasnamakan S. Sudjojono dalam koleksi Museum OHD, sebagaimana yang diperlihatkan dalam buku Lima Maestro, tidak hanya membahayakan masa depan sejarah yang terkait dengan kehidupan pribadi dan nama baik sang seniman, tetapi juga berlaku fatal untuk historiografi seni rupa Indonesia. Fenomena pemalsuan yang semakin mengerikan ini bisa dicegah dengan melakukan riset-riset terpadu melalui pendirian pusat studi sejarah seni rupa Indonesia dan laboratorium forensik.











Catatan Akhir




[1]Diambil dari pers rilis Museum S. Sudjojono (kini S.Sudjojono Center) pada 21 September 2000 sehubungan dengan ditemukannya kembali lukisan S. Sudjojono Djuang Main Ukulele yang raib sejak pameran retrospektif pada 1989. Lihat siaran ini dalam http://groups.yahoo.com/group/lintaseni/message/557, diunduh pada 18 Januari 2013, pukul 23.00 WIB.

[2]Lihat misalnya pandangan Agus Burhan terhadap hal ini. Menurutnya jika permintaan pasar pada karya maestro ini tidak wajar, maka akan memunculkan banyak kejahatan dengan pemalsuan. Pandangan Agus Burhan akan hukum pasar ini bisa dilihat dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/06/26/114412936/Permintaan-Tak-Wajar-Dorong-Pemalsuan, diunduh pada 6 Februari 2013, pukul. 01.30 WIB.

[3] Misalkan kasus ditemukannya lukisan palsu Nyoman Gunarsa di Galeri Cellini, Denpasar-Bali pada awal 2000. Lebih jauh tentang kasus ini bisa dilihat di http://crongeanz.blogspot.com/2008_12_01_archive.html, diunduh pada 5 Februari 2013, pukul. 23.15 WIB. Sehubungan dengan balai lelang, pengamat seni rupa Agus Dermawan T, yang pernah terlibat dalam proses seleksi yang diadakan balai lelang Christie’s, mengatakan dari 400 lukisan yang masuk untuk diseleksi, sebanyak 25% adalah lukisan palsu.“Artinya 100 lukisan palsu dan sisanya 300 lukisan dipilih kurang lebih 150 lukisan untuk dilelang dan masuk dalam katalog,” ujarnya. Lihat http://aergot.wordpress.com/2009/02/25/awas-lukisan-palsu-gentayangan/ diunduh pada 6 Februari 2013, pukul. 01.15 WIB.

[4]Lihat kasus penipuan ini dalamhttp://surabaya.tribunnews.com/m/index.php/2012/06/04/beredar-lukisan-palsu-affandi-senilai-rp-100-juta, diunduh pada 8 Februari 2013, pukul 10.15 WIB.

[5]Terbongkarnya lukisan palsu koleksi Bank Indonesia (BI) bermula ketika Hidajat diminta meneliti dan menilai beberapa karya seni termasuk lukisan, patung, dan batik yang ada di BI, pada Oktober 2011.  Ia pun mengajak beberapa ahli seperti Abdul Hadi WM (budayawan), Yusuf Effendi (Guru besar FSRD-ITB merangkap dosen di Universitas Trisakti), Sri Warso Wahono (konsultan artistik Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki), dan Bambang Wibawarta (Dekan FIB Universitas Indonesia). Tim ini bekerja selama 90 hari.  Hasil kurasi tim ini kemudian dipaparkan Hidajat saat diundang rapat di BI. Hadir dalam rapat itu perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Bagian Biro Perencanaan Logistik BI. Sejak Januari 2012, BPK memang sedang mengaudit laporan keuangan BI.Dari penilaian tim kurasi ini disimpulkan, sejumlah lukisan koleksi BI diduga palsu dan harga beli lukisan digelembungkan. Sebanyak 29 lukisan diragukan keasliannya, enam kualitas A, 31 kelas B, 52 kelas C, dan 11 kualitas D. Di antaranya yang diduga palsu adalah lukisan Raden Saleh, Popo Iskandar, Wakidi, Hendra Gunawan, Basuki Abdullah, Abdullah SR, Lee Man Fong, S Sudjojono, Affandi, Otto Djaya, Dullah, Ernest Dezentje, Trubus S, William Trooat, Liem Tjoe Ing, dan Srihadi. Lebih jauh tentang kasus ini bisa dilihat dalam http://www.eksekutif.co.id/gaya-hidup/entertaiment/688-praktik-curang-sindikat-bisnis-lukisan-palsu.html, diunduh pada 10 Februari 2013, pukul 09.13 WIB.

[6] Lihat liputan The Jakarta Post, 30 Mei 2012; Media Indonesia, 27 Mei 2012; Koran Tempo, 28 Mei 2012 dan 9 Juni 2012, dan Majalah Gatra No.31 Th. XVIII, 13 Juni 2012.  

[7] Investigasi kasus ini bisa dibaca secara lengkap dalam Majalah Mingguan Tempo, 25 Juni – 1 Juli 2012.

[8] Lazim disebut fraudulent painting – sebuah lukisan yang tidak dilukis oleh seniman sebagaimana yang tertera pada tandatangannya. Lebih jauh lihat  Suzanne Bell, Fakes and Forgeries, (New York: Factson File, 2009), hal. xxi. Alih-alih pemalsuan dengan membuat kembaran dari aslinya, dalam kasus S.Sudjojono, ada indikasi kuat bahwa sejumlah lukisan-lukisan yang beredar di pasar dan beberapa yang dikoleksi baik oleh pribadi maupun sebuah museum merupakan lukisan yang didaku sebagai lukisan S. Sudjojono alias bukan lukisan yang dikerjakan oleh S. Sudjojono. 

[9] Perhatikan bagaimana masalah kronik ini dalam buku-buku semisal: Kusnadi, dkk., Sejarah Seni Rupa Indonesia (DepDikBud, 1977); Mochtar Kusumaatmadja, Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini (Panitia KIAS, 1991); Jim Supangkat, Indonesian Modern Art and Beyond (YASRI, 1997); Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (DKJ, 1976); Helena Spanjaard, Exploring Modern Indonesian Art: The Collection of DR. Oei Hong Djien, (Singapore: SNP-International, 2004) dan Indonesian Modern Art (Gate Foundation, 1993); Sudarmadji, Seni Lukis Jakarta Dalam Sorotan (DKI-Jakarta,1974) dan Dari Saleh Sampai Aming (ASRI: 1974); Brita Mildouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak 1966, (Gramedia, 1997); Astri Wright, Soul, Spirit and Mountain: Preoccupations of Contemporary Indonesian Painters (Oxford University Press, 1994); Mustika Mustika, Percakapan Dari Hati Ke Hati Pelukis Indonesia, (Penerbit Sanggar Krida, 1993) dan Mustika & Slamet Sukirnanto, Seni Rupa Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esai, (Sanggar Krida, 1996); A.D. Pirous, Seni Pariwara Sebagai Alat Propaganda Perjuangan, (Bagian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, 1964), Soedarso Sp., dan sejumlah buku lainnya.

[10] Edisi bahasa Indonesia buku ini baru diterbitkan pada tahun 2000. 

[11] Misalnya buku Jim Supangkat, Indonesian Modern Art and Beyond, (Jakarta: The Indonesian Fine Arts Foundation, 1997). Publikasi sebelumnya berhenti pada dekade 1970-an, misalnya Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976).

[12] Perlu ditambahkan di sini, meskipun semenjak dekade 1950-an perkara historiografi seni rupa Indonesia ini mulai didiskusikan, sampai milenium ini (2012) hanya terdapat satu publikasi yang secara khusus menyorot permasalahan ini, yaitu Historiografi Seni Indonesia: Sebuah Pemikiran Terwujudnya Sejarah Seni Rupa Indonesia oleh Wiyoso Yudoseputro (2005). Sembari mengingatkan tentang pentingnya memulai konstruksi sejarah seni rupa Indonesia yang komprehensif, buku tipis 60 sebanyak halaman ini merekomendasikan sejumlah titik penting dalam sejarah yang bisa dijadikan bahan bagi historiografi seni rupa Indonesia bagi periset masa depan.

[13] Anne D’Alleva, ibid., hal. 22.

[14]Pemilahan yang lebih sederhana bisa kita lakukan dengan menimbang masa pernikahan S. Sudjojono. Misalnya: masa Mia Bustam (1943-1959) dan masa Rose Pandawangi (1959-1986).

[15]Sannering adalah pemotongan nilai mata uang.

[16] Aminudin TH Siregar, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono, (Jakarta: S. Sudjojono Center & Galeri Canna, 2010), hal. 91-93.

[17] Wawancara dengan Pandanwangi melalui short message service (sms), 24 Januari 2013, pukul. 12.00 WIB.

[18] Mobil Colt adalah salah satu produk Mitshubishi yang sangat populer di Indonesia pada dekade 1970-1980-an karena daya angkut dan tenaganya yang besar.

[19]Suara Karya, Rabu 13 Januari 1982. 

[20] Brosur Pameran, Works of Indonesian Painters Today, Kementerian Penerangan-RI, 1945.

[21] Pameran ini dikelola oleh pelukis Agus Djaya.

[22]Kini Tropen Museum.

[23]Poedjangga Baru, Pertoendjoekan Loekisan-loekisan Indonesia di Kunstkring Djakarta7 – 30 Mei 1941.

[24]S. Sudjojono dikabarkan “menghilang” beberapa saat ketika apa yang disebut Peristiwa Madiun 1948 terjadi.

[25] Informasi ini diperoleh dari makalah Mia Bustam dalam rangka peluncuran buku S. Sudjojono dan Aku, Juni 2006 di Galeri Soemardja.

[26]Trisno Sumardjo, Dokumentasi Lukisan, Majalah Kebudayaan Indonesia, No.4.TH.II April, 1951, hal. 7. Berapa jumlah lukisan S. Sudjojono yang dikoleksi, belum diketahui secara pasti. Perlu penyelidikan lebih jauh di masa yang akan datang tentang hal ini.

[27]Edisi No.2 , 1 Mei 1947, terbit di kota Solo.

[28]Edisi No.1, tidak diketahui tanggal penerbitan. Kemungkinan besar terbit pada Februari 1947.

[29] Edisi No.4, 17 Agustus 1947.

[30] Mia Bustam, makalah diskusi, 2006. Dalam makalah itu, Mia Bustam juga memberikan informasi penting yang layak dikembangkan untuk penelitian lebih jauh di masa depan. Mia Busatam mengatakan: “Sudjojono tidak mau lagi bekerja untuk Pemerintah dan mengajak kami sekeluarga pindah ke Bogem. Disana dia membuat beberapa lukisan dan tiba-tiba tertarik untuk membuat patung batu. Mungkin karena Bogem dekat sekali dengan Prambanan sehingga dia terpengaruh pembuatan Candi Prambanan. Dia mengibaratkan dirinya sebagai Bandung Bondowoso dan saya Loro Jongrangnya. Hasil pertamanya adalah potret saya sebatas dada. Ketika provokasi Madiun terjadi pada 18 September 1948 dia pernah menghilang beberapa waktu entah kemana. Pada tanggal 17 Desember 1948 dia pergi ke Jogya untuk membicarakan rencana pameran lukisannya yang berjumlah 45 buah. Namun pada 19 Desember 1948 lapangan Maguwo di bombardir oleh Belanda dan terjadi aksi polisionil kedua. Dia pulang dengan tergesa-gesa dan menyimpan 45 lukisannya kedalam tabung-tabung seng tebal yang di tutup rapat, kemudian menanamnya kelantai tanah rumah orang tuanya. Kami mengungsi ke utara ke desa Kragan disana dia membuat beberapa lukisan dengan tinta Cina, antara lain portret Pak Lurah Tulung dan potret saya. Dia pun ikut bergerilya bersama Tentara Pelajar dan siswa-siswa MA (Militaire Akademie). G. Dwipayana yang pada jaman Orde Baru menjadi direktur PFN juga sebagai sutradara film boneka “Si Unyil” adalah satu diantara para Tentara Pelajar itu. Sudjojono pergi ke Bogem untuk menggali tabung-tabung lukisannya . Rupanya rumah itu bekas diduduki pasukan Belanda pada saat kami mengungsi. Tabung-tabung lukisan itu tidak ada dan yang ditemukan hanya serpihan-serpihan kanvas bekas dibakar. Dia sangat terpukul. Lukisan-lukisan jaman Persagi, semua portret saya dari jaman Jepang, lukisan-lukisan dari jaman Biro Perjuangan, musnah !. Untung lukisan “Kawan-kawan Revolusi” dan “Didepan Kelambu Terbuka” sudah dibeli Bung Karno. Dari jaman Persagi masih ada potret ibunya, dan dari zaman Jepang potret saya yang sedang mengandung Tedjabayu. Kedua lukisan ini sekarang menjadi koleksi Galeri Nasional. Kami pindah ke Jogya lagi dan tinggal di Sagan Wetan. Di sana dia membuat  4  lukisan yaitu Di Kampung, Tetangga, Sekko dan Mengungsi. Empat lukisan ini pun dibeli Bung Karno. Pada akhir tahun 1949 kami pindah ke Pakuningratan No.40 di Jogja.”

[31]Mewakili lukisan S. Sudjojono di zaman Jepang.

[32] Terjadi pada 19 Desember 1948 ditandai dengan serbuan Belanda ke Jogjakarta. 

[33]Trisno Sumardjo, Sudjojono Bapak Seni Lukis Indonesia, Mimbar Indonesia, No.42, 15 Oktober 1949. Bandingkan perihal jumlah lukisan ini dengan Mia Bustam dalam Mia Bustam, Sudjojono dan Aku, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2006), hal. 389.

[34] Rivai Apin, Pembicaraan Lukisan, Mimbar Indonesia, No. 35, 28 Agustus 1947.

[35] Rosihan Anwar, Jogja Dalam Kabut Pancaroba, Suratkabar Pedoman, 9 Juli 1949.

[36] Lihat juga teks yang menyertai pemuatan foto S. Sudjojono dalam Trisno Sumardjo, Sudjojono Bapak Seni Lukis Indonesia Baru, Majalah Mimbar Indonesia, No.41, 8 Oktober 1949.

[37] Mia Bustam, Ibid., hal.125. Organisasi ini meliputi seni lukis, sastra, musik, teater. Lebih jauh lihat Suromo, Timbul dan Tumbuhnya Seni Lukis Indonesia, 1949 dalam Aminudin TH Siregar, Enin Supriyanto (ed.), Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan, (Jakarta: Penerbit Nalar, 2006), hal.145).

[38]Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember1948 yang diawali dengan serangan Belanda terhadap kota Yogyakarta, ibu kotaIndonesia saat itu menyusul penangkapan para pemimpin Republik Indonesia Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan sejumlah tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

[39] Cerita tentang hal ini bisa dilihat dalam Mia Bustam, ibid., hal,.389-390. Barangkali inilah sebabnya mengapa koleksi lukisan S. Sudjojono yang pernah ia hasilkan pada zaman Jepang hampir tidak bisa kita jumpai.

[40] Aminudin TH Siregar, ibid., hal.98. 

[41] Aminudin TH Siregar, ibid., hal.95.
[42] Lihat lingkup paparan ini dalam Sanento Yuliman, Beberapa Masalah Dalam Kritik Senilukis Di Indonesia, (Bandung: Skripsi Jurusan Seni Rupa-ITB, 1968), khususnya Bab-V:  Kerakyatan.

[43]“Isi realistis; bentuk realistik,” demikian S. Sudjojono. Ia pun berpandangan bahwa: “Gambar saya buat rakyat udik bukan teka-teki.” Lihat S. Sudjojono dalam Sudjojono tentang Sudjojono, Mimbar Indonesia, No.33, 19 Agustus 1950.

[44]Lihat juga Mia Bustam dalam ibid., hal. 391.

[45] Kritik Mia Bustam tentang hal ini menarik untuk dicermati. Menurutnya, ketelitian S.Sudjojono dalam lukisan-lukisan bertema gerilya yang dikerjakannya menjelang akhir 1950-an mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan dengan kejanggalan pakaian yang dikenakan anak kecil dalam adegan di tengah para gerilyawan. Alih-alih berpakaian seadanya dan bahkan setengah telanjang, S. Sudjojono menggambarkannya ala anak kelas menengah zaman sekarang. Karena itu, lukisan tersebut tidak real-realism. Lihat Mia Bustam, ibid., hal.395.

[46] Mia Bustam, ibid., hal.394.

[47] Alih-alih imajinasi, sosok-sosok dalam lukisan Sekko ini, menurut S. Sudjojono, benar-benar ada. Sekko (Jepang) atau pemandu jalan dilukis berdasarkan sktesa yang dibuatnya di pasar ketika Sultan Hamengkubuwono IX bersama rombongan berkunjung ke Jalan Maliboro setelah Agresi Militer II. Lihat Lukisan-lukisan Revolusi: Keterlibatan pada Lingkungan,  Harian Kompas, 18 Agustus 1985.

[48]Majalah Pendidikan dan Kebudayaan, No. 2 Januari 1951, Kem.P.P.& K-RI, diterbitkan di Jakarta.

[49] Brosur Pameran Lukisan dan Pahatan, 18-27 Agustus 1951, KP-RI, diterbitkan di Jakarta. Tidak diperoleh gambaran bagaimana rupa ke-tiga lukisan ini.

[50]Kusnadi, Pengantar Exposisi Seni Lukis Muda dalam Majalah Budaya, No. 29, Desember, 1953. Baca juga tentang lukisan ini dalam Mia Bustam, ibid., hal. 154.

[51] Majalah Zaman Baru, No.11-12, 20-30 Agustus 1957, hal.2.

[52]Brosur Modern Indonesian Paintings, 25 februari – 15 Maret 1952, John Heller Gallery – New York. Belum diperoleh informasi lebih detail mengenai pameran ini selain tulisan pengantar yang menyebutkan bahwa pameran ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang seniman-seniman “muda” Indonesia yang telah berkontribusi bagi pengembangan budaya masa lalu melalui bahasa modern. Karya-karya mereka dipandang berhasil menafsirkan kebudayaan dengan merumuskan perpaduan tersebut dengan cara yang menarik. Brosur ini memuat repro lukisan Emiria Sunassa dan Hendra Gunawan.


[53]Kesenian Indonesia/Indonesian Art,  5 April 1955, Bagian Kesenian Kem.P.P.& K, diterbitkan di Jogjakarta.

[54] Bur Rasuanto, Pertemuan dengan S. Sudjojono, Indonesia Raya, 15 Desember 1968. Belum diperoleh keterangan lukisan apa saja yang dipamerkan. 

[55]Sanento Yuliman, Estetika Jiwa Besar, H.U. Kompas, 25 Maret 1987.

[56]Baharudin Marasutan, Kemana Sudjojono Mau Membawa Senilukisnya Sekarang, Kompas 12 Januari 1972. 
  
[57] Wawancara pribadi dengan Rose Pandanwangi, September 2010. Lihat perihal ini dalam tulisan Watugunung dalam Mia Bustam, ibid., hal. 314.

[58] Lihat pengakuan Watugunung perihal kecemasan suasana pasca 1965 ini dalam Mia Bustam, Sudjojono dan Aku, (Jakarta: Pustakn Utan Kayu, 2006), hal. 314. Watugunung turut menekankan masa-masa tiarap ini. Informasi ini juga saya peroleh dari wawancara pribadi dengan Watugunung,  April 2012.

[59] Lihat laporan pameran ini dalam S. Budi Arsani, Eksposisi Tunggal Lukisan Cat Minya dan Sketsa S. Sudjojonio di Lembaga Indonesia-Amerika, Harian Pelita, 3 September 1974. Belum diperoleh keterangan lebih jauh detail-detail lain dalam pameran ini.

[60] Brosur Pameran Tunggal Lukisan S. Sudjojono 14 – 20 Juli 1975, TIM-Jakarta.  

[61] Buana Minggu, 24 Februari 1974. 

[62]Belum ditemukan keterangan tentang jumlah lukisan S. Sudjojono dalam pameran ini.

[63] S. Sudjojono, Bagaimana Saya Membuat Lukisan Sultan Agung, 1 Maret 1980, Arsip S. Sudjojono Center, hal.3-4. 

[64] Brosur eksposisi Tunggal S. Sudjojono, 6 – 13 Mei 1976, Balai Budaya Jakarta.

[65]Lihat Katalog Pameran Besar Seni Lukis Indonesia ke-II, 16 – 30 Desember 1976, Dewan Kesenian Jakarta.

[66] Brosur Pameran Tunggal S. Sudjojono, 7 – 12 Februari 1978, Dewan Kesenian Jakarta. Bandingkan jumlah lukisan yang dipamerkan ini dengan laporan yang dimuat dalam Harian Angkatan Bersenjata, 7 Februari 1978. Di harian ini disebutkan sebanyak 53 lukisan. Sementara laporan dari Arby Samah S. Sudjojono Seperempat Abad Kemudian dalam Sinar Harapan, 11 Februari 1978 menyebutkan jumlah 37. 

[67] Lihat laporan pameran ini dalam Melihat Karya S. Sudjojono, Mingguan Merdeka, 16 Desember 1979. Bandingkan dengan laporan Sinar Harapan, 6 Desember 1979 yang menyebut 35 lukisan dan 6 sketsa dalam pameran ini. 

[68]Harian Merdeka, 30 April 1981.

[69] Brosur Pameran Pelukis Karya 6 Pelukis, 17 – 30 Desember 1981, Dewan Kesenian Jakarta.

[70] Antara lain Ratu Aminah, Jinny Liu, Maria-Christine Bauquis, Tina Susanna Matsui, Huguette Jean-Louis, Kwee Ing Tjiong, Frits Spiro, dan Roy Senjaya. Lihat Harian Kompas, 13 Januari 1984.

[71] Sanggar ini didirikan pada 1970.

[72] Harian Merdeka, 10 Januari 1984. Lihat juga Berita Yudha, 12 Januari 1984 yang menampilkan repro lukisan Kesibukan Perahu-perahu Layar. Lihat juga laporan tentang pameran bersama murid-murid ini dalam Arief Joko Wicaksono, S. Sudjojono: Rakyat itu Cantik,..Cantik Sekali..., Sinar Harapan, 14 Januari 1984.

[73] Brosur Pameran Lukisan Karya Pelukis-pelukis Taman Siswa, 10 – 21 September 1981, Dewan Kesenian Jakarta. Belum diperoleh keterangan detail pameran ini, terutama berapa banyak S. Sudjojono memamerkan lukisannya.

[74]Sekar Wening, Usia Uzur,Tapi Masih Energik dan Konsisten, Harian Merdeka, 23 Januari 1984.

[75]Percakapan pribadi dengan Jeihan, September 2012.

[76]Lihat misalnya judul laporan Lukisan Lama Soedjojono dan Gerak Baru Jeihan, Suara Karya, 9 Agustus 1985. Laporan ini mengatakan bahwa selain tidak produktif, lukisan-lukisan S. Sudjojono terkesan nostagik.

[77]Asikin Hasan (ed), Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, (Jakarta: Kalam, 2001), hal.182-185.

[78]Lukisan yang dimaksud adalah lukisan berjudul Hujan Panas, cat minyak di atas kanvas, 35x42.5”, 1951. Lihat lukisan ini dalam situs Claire Holt Papers (1930-1969) Cornell University Libraryhttp://library24.library.cornell.edu:8280/luna/servlet/detail/CORNELL~4~1~459~21022:Hudjan-Panas?sort=Accession%2CPlace%2CTitle&fullTextSearch=fullTextSearch&qvq=q:Sudjojono;sort:Accession%2CPlace%2CTitle;lc:CORNELL~4~1&mi=5&trs=7, diunduh pada 16 Mei 2013, pukul 10.48 WIB.

[79]Data yang diperoleh oleh penulisa dari S. Sudjojono Center dan penting untuk diperhatikan bahwa secara umum, data ini merujuk pada produksi lukisan yang dikerjakan semasa S. Sudjojono menikah dengan Rose Pandawangi pada 1956. Terimakasih untuk Alexandra Pandanwangi dan Kuky Nasution dari S. Sudjojono Center atas informasi ini.

[80]Lihat permasalahan ini dalam Edmun Burke Feldman, Art As Image and Idea, (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1967), hal. 470-498.

[81]Asikin Hasan, ibid., hal 72-73.

[82] Lukisan ini boleh jadi adalah lukisan yang dikerjakan pada zaman Jepang yang disebut-sebut Mia Bustam ketika mengandung Tedjabayu-anak pertama mereka. Perhatikan bagaimana Mia Bustam mengatakan bahwa lukisan ini kemudian menjadi koleksi Galeri Nasional.

[83]Menurut Alexander Pandanwangi, sang model tersebut bernama Hamid – seorang mahasiswa yang akrab dengan keluarga S. Sudjojono. Sampai tulisan ini ditulis, kontak yang bisa menghubungkan kita dengan Hamid belum bisa dilakukan. 

[84]Tentang persoalan ini bisa dibaca dalam Laurie Schneider Adams, The Methodologies of Art, (Oxford: Westview Press, 1996), hal. 19-20.

[85]DR. Oei Hong Djien, Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia, (Magelang: OHD Museum, 2012), hal. 59.

[86] Mia Bustam, istri pertama S. Sudjojono, sudah barang tentu akan mudah mengenali dan mengingat lukisan ini dan tercacat dalam memoarnya, dan begitupula anak-anak mereka.

[87] Lebih jauh bisa dibaca dalam Mia Bustam, ibid., hal.394.

[88] Oei Hong Djien, ibid., hal 70.

[89]Tentang hal ini baca Mia Bustam, ibid., hal.,205.

[90]Baca tentang hal ini dalam Mia Bustam, ibid., hal. 245.

[91]Lukisan ini menjadi koleksi Fauzi Bowo. Lihat Helena Spanjaard, Indonesian Odyssey, (Singapore: Equinox Pub., 2008), hal. 84.85.

[92] Pengambilan sudut yang agak menyamping dari arah belakang ini seringkali dilakukan oleh S. Sudjojono. Figur wanita dalam lukisan Habis Mandi (1953) juga diambil dari arah ini.

[93]Catatan: Saya mengalami kesulitan untuk melihat data tahun dari repro lukisan buku Lima Maestro melalui kaca pembesar. Saya sulit mengingatnya ketika ketika melihat lukisan ini dalam acara peresmian Museum OHD pada April 2012.

1 comment: