Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, dunia seni rupa kita kacau (karena enggan menggunakan istilah carut-marut). Beberapa tahun belakangan ini memang semakin banyak kolektor, tapi sebagian besar dari kolektor itu membeli karya senirupa bukan untuk dijadikan bagian dari koleksi, tapi untuk kemudian diperjual belikan. Sehingga, kebanyakan karya seni yang dibeli, nasibnya hanya bertumpuk dalam sebuah kamar dan tidak pernah dipajang untuk dinikmati sebagai karya seni. Padahal, koleksi karya seni seharusnya dapat dinikmati sebagai karya seni yang memberikan rasa keindahan, kebanggaan, menunjukkan wawasan dan pemikiran pemiliknya.
Di tengah kekacauan dunia seni rupa kita, tentunya ada beberapa kolektor yang serius juga. Ada yang bahkan mendedikasikan bangunan khusus untuk mempertontonkan koleksinya. Dan dengan diterbitkannya buku Family Life ini, kita juga lihat bahwa ada kolektor yang ternyata menetapkan fokus dalam pengkoleksian karyanya, sementara kolektor Indonesia yang serius biasanya mengkoleksi secara antologis dan eklektik. Koleksi Katimansjah memang unik.
Fokus pada suatu tema dalam mengkoleksi karya senirupa, sangat menarik dan memberikan makna baru. Artinya, kumpulan karya-karya seni dalam suatu koleksi yang memiliki fokus, memiliki makna yang lebih daripada makna tiap-tiap karya dalam koleksi itu. Hal itu bisa digali lebih lanjut, dan itulah yang kita bisa baca dalam tulisan-tulisan yang dihadirkan di dalam buku Family Life ini: St. Sunardi membahas tentang hubungan dramatis ibu dan anak dan tentang kebersamaan pasangan dalam karya seni yang ada dalam koleksi keluarga Katimansjah, Engelina Prihaksiwi membahas tentang menyusui, sedang Helena Spaanjard memberikan ulasan umum tentang koleksi Kel. Katimansjah.
Yang mencengangkan dari koleksi Family Life Kel. Katimansjah adalah bahwa koleksi ini ternyata tidak terbatas pada karya seni rupa Indonesia saja, tapi menyertakan berbagai jenis karya seni dari seluruh dunia. Juga, koleksi ini tidak terbatas pada karya seni rupa dalam arti lukisan atau pun patung yang dibuat oleh perupa yang memiliki nama dan posisi dalam peta senirupa Indonesia, tapi juga benda-benda seni hasil karya perupa yang tidak diketahui namanya. Jadi di antara koleksi Kel. Katimansjah, terdapat antara lain patung-patung pasangan dari Kalimantan yang sangat ekspresif (pl. 347/p. 192), patung Bali dari daerah Bulelang yang lucu sekaligus anggun (pl. 122/p. 81), karya Tau-tau yang sangat detail pembuatannya (pl. 490/p. 273), patung perupa Cina seperti Chen Weling yang benar-benar lucu (pl. 317/p. 181),karya-karya Gregorius Sidharta dan Amrus Natalsya (pl. 289 & 290/p. 170 & 171), serta karya pematung kenamaan asal Columbia, Fernando Botero (pl. 172/p. 85). Tentunya masih banyak lagi patung lain dari berbagai budaya di dunia dan oleh berbagai perupa Indonesia dan mancanegara yang dapat ditemukan dalam koleksi ini. Banyak juga karya yang diberi label anonymous, dalam arti nama perupanya tidak diketahui. Ibu Santi Katimansjah pernah menekankan bahwa dalam mengkoleksi mereka tidak terlalu mempedulikan nama perupa tapi lebih mementingkan nilai arsitistik karya seninya.
Dalam koleksi lukisannya terdapat karya yang mungkin lebih konvensional dalam melukis tema ibu dan anak, percintaan, menyusui, dan keluarga, oleh perupa Indonesia terkemuka seperti Barli Sasmitawinata (pl. 115/p. 76), Soedibio (pl. 105/p. 69), Djokopekik (pl. 38/p. 26), Mulyadi W. (pl. 374 & 277/p. 211),
Eland (pl. 347/p. 192); serta para perupa asing yang melukiskan Indonesia seperti Antonio Blanco (pl. 41/p. 28), Ceslaw Mystkowsky (pl. 73/p. 46), GP Adolfs (pl. 196/p. 130, dan Cristiano Renato (pl. 136/p. 92). Suatu subkoleksi dengan tema Madonna juga menjadi bagian dari koleksi seni rupa Kel. Katimansjah. Selain beberapa icon Rusia (pl. 137/p. 93), juga ada karya unik dari Leo Eland (pl. 134/p. 90), dan bahkan karya perupa kontemporer Indonesia yang mengangkat tema itu seperti karya Dipo Andy (pl. 190/p. 126) dan Agus Suwage (pl. 169/p. 112).
Namun, sebagian besar karya seni lukis dalam koleksi Kel. Katimansjah adalah karya para perupa muda. Hal ini merupakan bukti bahwa Kel. Katimansjah memang menunjukkan kepedulian atas perkembangan senirupa Indonesia, dan kita harus salut pada perhatian itu. Namun, di sisi lain, terdapatnya karya dari beberapa perupa yang kadang-kadang masih menunjukkan "perjuangan" artistiknya, membuat orang mempertanyakan kualitas koleksi itu secara keseluruhan. Ini seolah-olah bertentangan dengan yang ditekankan Ibu Santi Katimansjah sebelumnya. Mungkin dalam kesempatan ini saya langsung saja menyampaikan beberapa pertanyaan untuk lebih memahami koleksi Kel. Katimansjah:
• Terutama dalam mengkoleksi karya perupa muda, apakah selalu hanya nilai artistik karya itu yang dipentingkan? Ataukah juga dilihat potensi perupa itu juga menjadi pertimbangan dan apakah memang ada maksud mengkoleksi untuk memberikan dukungan?
• Apakah ada pergeseran atau perkembangan cara pandang dalam mengkoleksi, dari waktu ke waktu?
• Ke mana arah pengkoleksian seni rupa Kel. Katimansjah di masa mendatang?
Beberapa penulis sudah membahas koleksi Kel. Katimansjah, dan Irma dan Rai telah menuliskan beberapa kata, namun sebenarnya saya atau mungkin juga kita masih berharap dapat mengetahui lebih banyak tentang alasan-alasan Dr. Eddy dan Ibu Santi Katimansjah mengkoleksi karya-karya seni mereka satu per satu.
Di tengah kekisruhan tentang Undang-undang Pornografi yang sudah disetujui DPR, koleksi Kel. Katimansjah membuka mata kita lebih lanjut tentang ketelanjangan, kebugilan, dan pornografi. Begitu banyak karya dalam koleksi Kel. Katimansjah yang memperliahtkan figur perempuan bugil dengan payudara terbuka pada figur yang molek. Namun, tidak ada sedikit pun kesan bahwa karya itu merupakan bagian dari pornografi. Tentunya bagi dr. Eddy, seorang dokter ahli ObGyn, melihat tubuh dan bahkan kelamin perempuan merupakan kejadian sehari-hari dalam hidupnya. Hal ini membuat kita paham bahwa yang membuat suatu citra atau bentuk itu menjadi pornografis, bukanlah citra atau benda itu sendiri, namun orang yang melihat dan memanipulasinya. Itu di antaranya, hal yang bisa kita dapatkan dari koleksi Kel. Katimansjah, selain yang sudah dibahas oleh para penulis buku Family Life.
Tentunya, melihat begitu banyaknya koleksi Kel. Katimansjah, masih banyak lagi yang bisa digali. Dan yang didapat atau digali itu tidak perlu yang rumit-rumit, sulit-sulit atau pun besar-besar. Misalnya saja, koleksi Kel. Katimansjah membawa Landung Simatupang ke dalam suatu refleksi pribadi pada ibunya dan keluarganya. Itu tidak kalah bermaknanya dari tema-tema besar yang dihadirkan dalam tulisan-tulisan lain dalam buku itu, karena dalam senirupa yang penting adalah komunikasi pribadi antara karya seni rupa dan pemirsa, atau pun antara suatu koleksi dan pemirsa yang melihatnya dan menikmatinya.
Kendati terus terang ada beberapa hal yang mengganjal dalam buku ini, saya sangat senang bahwa di tengah-tengah dunia seni rupa kita yang kacau, ada upaya sekeluarga kolektor yang mau menghadirkan suatu buku yang memperlihatkan contoh apa yang seharusnya dilakukan atas sebuah koleksi senirupa. Jika karya-karya senirupa yang dibeli akhirnya hanya diperjual belikan, mungkin ada keuntungan finansial yang diraih. Namun apakah karya-karya senirupa itu dapat memberi arti lebih dalam atas pemikiran atau kehidupan pemiliknya? Marilah kita tinjau kembali mengapa kita perlu mengkoleksi senirupa.